Bokushinu Volume 1 Chapter 6 - Sekkinokyou

Latest

Fans Tranlation LN/WN Bahasa Indonesia

Jumat, 12 Januari 2018

Bokushinu Volume 1 Chapter 6

Chapter 6 – Esok, Aku Akan Mati, Kamu Kembali Hidup


"... sudah tidak bisa diapa-apakan lagi, ya?"

Saat ini adalah akhir pekan di awal Juli, dan kumpulan awan kelabu yang mengambang rendah itu tampak kelam seperti biasanya.

Aku berdesah saat menatap buku catatan yang dingin ini.

Di hari aku mengunjungi Nyonya Hinako ....

Kuputuskan untuk mengutarakan semuanya pada Hikari Yumesaki.

Suatu hari persoalan ini memang harus dibicarakan padanya. Tidak ada artinya jika membiarkannya berlarut-larut.

Pada hari itu, kuletakkan buku saku murid di atas meja, lalu menulis pada buku catatan.

-

    Kamu ingin bunuh diri karena sudah terlalu banyak mengalami hal menyakitkan, dan aku tidak tahu kalau berada dalam posisi seperti itu. Mungkin mendadak bagiku mengatakan ini sekarang, tapi aku akan menghentikan Kazeshiro menggantikanmu. Bisakah kamu beritahu apa yang sebenarnya terjadi?

-

Aku akan melangkah masuk ke dalam sisi gelap yang gadis ini sembunyikan.

Dan tentu saja aku telah memperkirakan hal terburuk.

Entah apa yang Hikari Yumesaki pikirkan setelah membaca catatan harian ini. Mungkin dia tidak mampu lagi menahan emosinya lalu menangis. Mungkin masalah ini akan semakin rumit.

Tapi ini sebuah pertaruhan.

Gadis itu mungkin sudah lebih kuat dari sebelumnya.

Lalu sekarang, dua hari berlalu.

Masih tidak ada jawaban pada buku catatan selain kebohongan dan kepura-puraan yang biasanya.

-

    Kamu sudah salah paham, Sakamoto. Percayalah padaku dan jangan mengganggu!

-

"Apa hanya sebatas ini kepercayaanmu padaku?"

Sepertinya aku masih belum mendapatkan kepercayaan gadis itu. Aku pun menutup buku catatan tersebut dengan perasaan kecewa. Jujur, aku tidak pernah berpikir kalau Hikari Yumesaki akan mau menjawabnya. Jika memang tidak bisa mendapatkannya, aku mungkin mencarinya lewat orang lain.

"Tunggulah aku, Hikari Yumesaki."

Di bawah langit mendung yang tampak akan turun hujan ini, aku berlari keluar dari rumah.

Bahkan cuaca pun ikut menampakkan kemuramannya pada kami. Sial.



******


Setelah membaca 'blog' adikku beberapa hari lalu, aku akhirnya mengerti suatu hal.

Seperti biasa, aku pergi menemui Kazeshiro pada hari sebelumnya. Biasanya, Hikari-lah yang pergi mencarinya sepulang sekolah atau suatu waktu selama hari libur. Tidak ada jejak percakapan mereka pada 'blog'-nya, jadi aku sama sekali tidak bisa mengetahui apa yang sedang mereka bahas. Meski begitu, gadis tersebut sungguh payah dalam berbohong. Perasaannya kepada lelaki itu yang dikarenakan seringnya mengobrol, tampak sangat jelas dari kekhawatiran adikku. 

[Kakak pergi menemui Kazeshiro. Kakak tampak begitu tertekan ketika mereka berpisah! Ada apa ini? Aku tidak kuasa melanjutkan delusiku ....]

"Kenapa kamu selalu menganggap semua itu BL ...? Terserahlah."

Lagi pula, meski tidak tahu detail rencana balas dendamnya, setidaknya aku bisa berbuat sesuatu untuk melawan.

Tapi berkat buku harian ini, perlahan aku bisa melacak pergerakan Kazeshiro.

Biasanya dia berangkat sekolah di pagi hari, dan langsung pulang seusai pelajaran.

Dan selama hari libur, Kazeshiro pasti akan pergi ke suatu tempat di waktu tertentu pada hari Sabtu. Tampaknya Hikari Yumesaki juga menyadari hal ini, dan berusaha agar terus bisa melakukan kontak dengannya.

Lalu, yang bisa kulakukan hanyalah ini ....

"Apa kutunggu di sini?"

Di sini bukanlah benar-benar kota tetangga, hanya tepat di ujung jalan saja.

Ada banyak tanaman hijau di sekelilingku, beserta makam-makam yang dibangun di atas lereng yang landai.

Tanaman yang tumbuh tampak jarang sekali dipangkas, dan terlihat seperti akan mengundang banyak hama di musim ini. Syukurlah karena cuaca hari ini mendung.

Lelaki itu akan selalu mengunjungi tempat ini di hari libur. Tepat sebelum pukul lima sore.

Dan alasan dia memilih waktu itu, aku sudah tahu.

"Datang juga ...!"

Aku bersembunyi di sisi parkiran yang gelap — agak jauh dari gerbang pemakaman — dan segera mengikuti Kazeshiro sewaktu menemukannya.

Dia berjalan masuk ke dalam, melewati lobi yang kosong sambil membawa ember dan sapu. Sesampainya di tujuan, ia mulai membersihkan tempat itu.

Tidak perlu bertanya apa yang sedang dia bersihkan.

Makam dari gadis itu.

Bukti bahwa separuh diriku pernah hidup.

Dan bukti bahwa dia telah mati.

Suara sapu bambu yang menyisir pijakan batu itu terdengar seperti gemuruh di langit.

Kemudian, lelaki itu mengganti air pada vas bunga, dan meletakkan bunga yang baru di sana. Saat hendak memasang dupa, dia pun meletakkan sekotak 'Koala March' — satu hal yang sangat disukai gadis itu ketika masih hidup. Lalu, dengan tenang dia menepukkan tangannya.

Pukul 4.59, saat ketika gadis itu meregang nyawa.

Wajah Kazeshiro yang sedang berdoa tampak begitu khusyuk.

Matanya yang sengit itu sedikit terbuka, dan aku bisa merasakan kesedihan di matanya. Meski aku seorang lelaki, namun pikiranku berkata, 'Wah, lelaki ini memang keren'. 

"Bagaimana kalau kamu kemari saja, Sakamoto?"

"Hah?!"

Namaku mendadak dipanggil.

Dan aku — yang bersembunyi di balik pagar — hanya bisa menampakkan diri tanpa sedikit pun mengelak.

"I-iya ...."

"Ternyata memang kamu. Kamu selalu saja muncul seperti ini."

Aku hanya tidak tega mengganggu seseorang yang sedang berdoa. Kurasa Hikari Yumesaki sendiri mungkin berpikir sama.

"Hari ini kamu mau apa? Maaf, jika kamu terus mengusikku tentang kecelakaan itu, kesabaranku bisa habis. Aku akan marah."

Nada bicaranya lebih dingin dibanding yang biasanya kutahu. Sepertinya Hikari Yumesaki saat itu begitu cemas dan berusaha menanyakan langsung soal itu.

"Seseorang yang sangat berharga sedang bersemayam di sini. Aku tidak mau bertengkar di depannya."

Kazeshiro bergumam sendiri tanpa sedikit pun melirikku.

Akan tetapi, aku tidak bisa menyerah di titik ini. Apa gunanya kemari jika aku menurutinya?

Meski begitu, sekarang bukan saatnya berkata, 'Hentikan,' atau, 'Apa yang sudah terjadi?' itu sebabnya aku pun mengatakan,

"Kazeshiro."

"Apa?’

"Arwah Hikari Yumesaki bersemayam dalam tubuhku."

"...."

Aura yang menekan terasa memenuhi udara di sekeliling.

Tampak kini dia menjadi sangat marah. Yah, itu sudah bisa ditebak. Dari situasi ini bisa kukatakan kalau dia sangat membenciku sekarang. Kini aku menjadi 'sosok jelek' di matanya.

"Begitukah? Aku tidak tahu."

"Aku tidak bohong. Aku dan Hikari Yumesaki saling bertukar kepribadian tiap harinya."

Kazeshiro terdengar sangat tenang, sedangkan aku berusaha keras membenarkan pernyataanku.

Akan lebih bagus jika dia percaya padaku. Andai saja ini bisa menjadi sebuah titik balik, atau bahkan yang lebih baik ....

"Setiap pagi, pukul 4.59, itu adalah titik lenyapnya diriku. Aku yang bertemu denganmu kemarin bukanlah diriku, melainkan Hikari Yumesaki. Dan orang yang menjuluki diri sebagai Sexy Dream adalah Hikari Yumesaki. Dan dialah yang bilang kalau ayahnya adalah pemani ragbi. Sosok yang bersamamu saat di kafe dan yang kini berdiri di hadapanmu adalah Akatsuki Sakamoto."

"Oh, baguslah. Jadi kamu sungguh tahu soal Hikari Yumesaki. Tidak penting juga."

Tampaknya dia tidak punya lagi keinginan untuk bicara padaku, dan seolah tidak punya emosi sedikit pun. Cara bicaranya sedikit lebih cepat, dan terdengar seperti sedang meredam kemarahannya.

Apa dia mengabaikanku? Kalau begitu akan kulanjutkan.

"Sungguh merepotkan hidup bersama dengannya dalam satu tubuh. Dia tidak mau mendengarkanku dan selalu menggodaku. Namun itu tidak masalah asal dia senang."

Kata-kata yang kuucapkan barusan begitu lancar, tidak seperti diriku yang biasanya.

"Hubunganku denganya lumayan baik, bahkan pernah sekali dia menyebutku tampan. Aku ingat dia pernah berkata, 'Andai masih hidup, aku pasti mau pacaran dengannmu,' yah, aku memang tidak begitu peduli."

Rasanya malu mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi, tapi aku tidak punya pilihan lain. Supaya seseorang mau jujur mengatakan yang ada dipikirannya, maka aku harus memancing emosinya dulu.

Dan sesuai rencanaku, ini sangat efektif.

"... cukup, Sakamoto. Apa sebenarnya maumu?"

Aku sedikit terbawa oleh tekanannya.

Aku terpaksa mengalihkan pandanganku. Namun aku juga tidak bisa terus membiarkan hal ini. Aku punya keyakinan terhadap penampilanku, meski dalam artian buruk.

"Hikari Yumesaki yang sudah mati itu berkata ingin menghentikanmu, Kazeshiro. Dan setelah dia mengatakan semuanya, aku tidak bisa hanya ...."

Aku pun terkena pukulan.

Dengan penuh amarah, dia menerjangku dan langsung memberiku pukulan.

Dia sungguh jago berkelahi. Sial, rasanya sakit. Hidungku sakit ....

"Kupikir kamu hanya orang aneh, tapi ternyata kamu memang gila. Harusnya aku tidak usah berhubungan denganmu."

Kazeshiro berbicara dengan gelisah, tampak meludah sewaktu menatap ke bawah.

"Ja-jangan dekati aku lagi. Menjauhlah dariku."

Setelah mengatakannya, Kazehiro pun berbalik dan pergi.

"Tunggu!"

Namun aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.

Jika yang mengalami ini adalah Hikari Yumesaki, mungkin dia akan menangis. Akan tetapi, aku bukanlah orang yang selembut itu.

"Gadis itu masih tidak mengakui dirinya telah bunuh diri."

Kazeshiro berhenti.

Nafasnya tidak menentu, wajah pucatnya dipenuhi keterkejutan sewaktu memandang ke arahku.

"Aku tahu soal itu! Soal dia yang bunuh diri! Soal dia yang mengalami hal-hal tidak menyenangkan di SMA Takiou! Itulah alasanmu ingin membalas dendam, 'kan?"

Kedua kakiku gemetaran, bibirku menggigil, namun aku tidak boleh berhenti.

"Aku tahu semuanya ..., soal bagaimana gadis itu mati!"

Kuperlihatkan buku saku murid yang sedari tadi berada di sakuku, seolah sedang memperlihatkannya ke seluruh dunia.

Bukti bahwa bukti telah kehilangan pemiliknya, terlantar di bawah langit yang mendung.

"Pesan terakhirnya tertulis di sini! Gadis itu bunuh diri pada hari itu! Dia tiba-tiba berjalan keluar dari kawasan pejalan kaki, lalu tertabrak taksi, dan langsung mati! Gambaran apa yang terjadi hari itu masih tetap tersimpan di otakku. Kenapa dia bunuh diri! Siapa kamu yang berusaha membalaskan dendamnya!? Jika kamu tahu, ceritakan padaku!"

Aku nyaris terisak.

Tidak, mungkin aku memang sudah menangis

"...."

Dunia menjadi terasa sunyi.

Udara sekitas menjadi serapuh kaca yang akan menyakiti kami jika berembus.

Dan batang hidungku yang terkena pukulan itu terasa perih.

Lalu, ketika angin akhirnya berhenti, kudengar sebuah erangan.

"Sial .... Ada apa denganmu ...? Selalu mengatakan hal yang tidak jelas. Seolah kamu memang melihat kematian Hikari. Kalau begitu akan kuberi tahu kenapa dia ingin mati."

Kazeshiro lalu berbalik ke hadapanku, dan tampak matanya menerawang ke angkasa.

Dia mungkin tidak ingin lagi menjadi pusat dari dunia ini.

Dia tidak ingin lagi menjadi sang protagonis.

"Pertama kali aku mengenalnya adalah sewaktu kami mulai masuk SMA. Kami berada di kelas yang sama, dan Hikari, yang memang cantik sedari dulu, adalah pribadi yang cukup populer. Saat itu, dia bukanlah hal yang bisa menarik perhatianku."

Aku memang tidak bisa melihat wajah Kazeshiro, tapi entah kenapa rasanya seperti dia sedang tersenyum.

Atau mungkin itu hanya perasaanku saja.

"Kesan pertamaku padanya terjadi sekitar seminggu setelah tahun ajaran baru dimulai. Ada suatu ketika aku membuka loker sepatu, dan menemukan surat di dalamnya. Aku merasa seperti ada sesuatu yang berat di dalamnya, dan membukanya saja sudah mulai menjadi beban baghiku. Kemudian, dengan rasa kecewa, aku menyerah dan membuang suratnya. keesokan harinya, Hikari tiba-tiba berkata, 'Bukankah lelaki normal akan bersungguh-sungguh membacanya sampai selesai? Padahal jarang sekali aku mengerjai anak lelaki dengan menaruh surat di lokernya! Kamu bahkan memberi kesan seperti penyuka sesama jenis!' saat itu, kupikir dia hanya seorang pembuat masalah sehingga aku mengabaikannya."

Tampaknya gadis itu sedari dulu memang suka mengerjai orang. Dia benar-benar tidak berubah.

"Lalu, kesan berikutnya yang kudapat adalah ketika dia terlibat perselisihan dalam kelas. Itu hanyalah pertengkaran biasa antara siswa dengan gurunya, dan meski itu tidak berhubungan dengannya, dia ikut melibatkan diri, dan berkata kalau tidak seharusnya kita menghalang-halangi bahkan menggunakan kekerasan pada seseorang. Itu pikiran yang sungguh naif. Aku benar-benar merasa kalau dia memang orang bodoh. Hingga pada akhirnya, justru dia sendiri yang diomeli."

Bisa dengan mudah kubayangkan adegan itu.

Hikari yumesaki yang kukenal persis seperti Hikari Yumesaki yang dia kenal.

"Banyak hal terjadi setelahnya, sejauh yang kutahu, ada beberapa kali ketika terjadi sebuah pertengkaran, dia kembali ikut melibatkan diri, dan membuat situasi lebih panas. Contohnya ketika dia melihat seorang gadis yang di pukul pacarnya, dia langsung melempar minuman buah yang sedang dia minum ke arah pacar gadis itu, walau berujung luput sasaran. Saat itu, bahkan dia dipanggil ke ruang guru, dan menyuruhnya supaya tidak usah ikut campur urusan orang lain."

Aku juga merasa kalau dia memang suka ikut campur. Apa alasa dia menjadi begitu proaktif dan melibatkan dirinya ke dalam hal-hal yang merepotkan? 'Alasan' itulah yang tidak bisa aku pahami.

"Pada suatu hari, karena hasil rapat kelas, kami berdua ditinggalkan sendiri. Seharusnya kami tinggal melaksanakan tugas saja, tapi gadis itu justru selalu menggerutukan omong kosong dan tidak berbuat apa-apa. Saat itu aku bertanya, 'Kenapa kamu suka ikut campur urusan orang?' jika memang tidak ada hal yang dia kerjakan, dia bisa saja hidup tenang. Coba tebak apa jawabnya? 'Aku ingin menjadi kuat,' katanya. 'Itu sebabnya, agar semakin kuat, aku harus terus berbuat baik,' lanjutnya. Ucapan itu sangat konyol sampai aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Padahal itulah saat di mana aku seharusnya mulai peduli padanya, sehingga ketika dia dalam masalah, aku mampu menolongnya."

Kazeshiro melanjutkan dengan ekspresi hampa, mengenang segala hal tentang gadis itu dan tampak tidak ingin membuat kesalahpahaman.

"Tapi aku takut, takut akan fakta diriku yang tertindas itu terbongkar olehnya."

Sampai di titik ini, Kazeshiro lalu menatap langsung ke arahku.

Wajah pucatnya berkerut karena dirundung oleh kenangannya.

"Setahun yang lalu, aku dikucilkan teman-teman sekelasku. Tanpa ada yang tahu, beberapa murid di SMA itu memalak uangku. Mereka bilang kalau aku terlalu angkuh. Kamu paham maksudnya, 'kan?"

"Ah—"

"Aku khawatir kalau suatu hari hal ini akan terbongkar. Menyembunyikan fakta ini saja membuatku kesusahan, tapi gadis itu tetap melibatkan dirinya padaku. Entah mungkin karena dia khawatir karena aku tidak punya teman, tapi dia bilang kalau kami harus menjadi sekutu keadilan, biar bagaimanapun, gadis itu punya keterbatasan. Itu pertama kalinya seseorang meminta bantuanku — seorang Hikari Yumesaki yang begitu populer di kelas. Dengan perasaan bangga tersebut, aku pun menyetujuinya. Itu hanya sebuah keinginan egois, namun aku tidak menginginkan pujian dari siapa pun, atau merasa sedang membantunya. Meski begitu, meski begitu, aku—"

Kazeshiro menengadahkan kepalanya ke langit, lalu mencoba menahan kata-kata yang tidak bisa lagi dia pendam.

"Tapi pada akhirnya aku tidak mampu menutup rapat hal tersebut, dan fakta diriku yang ditindas itu pun terbongkar. Tidak pernah kusangka jika diriku akan begitu merasa malu, namun dia masih saja mau menjadi temanku. Menjadi teman dari lelaki yang menyedihkan dan memalukan ini. Akan tetapi, yang dia lakukan itu adalah sebuah kesalahan."

Mata kazeshiro tampak begitu gelap.

Layaknya lubang yang digali begitu dalam.

"Aku selalu ditindas, kemudian ada seorang gadis yang melindungiku? Itu bahkan terasa lebih memalukan. Lalu, kulampiaskan ... amarahku pada Hikari. Bahkan aku tidak mengerti kenapa akhirnya menjadi seperti itu, dan aku sadar betapa hinanya diriku yang berbuat begitu. Aku pun menyuruhnya supaya jangan lagi berhubungan denganku, dengan alasan karena itu semua gara-gara dia."

Kenangan tersebut sepertinya benar-benar melukai Kazeshiro, dan dia tampak menderita sewaktu lanjut bercerita.

"Setelah itu, aku selalu menjauhkan diri, berusaha keras untuk tidak menemui Hikari. Lalu yang terjadi setelahnya .... Kali ini, giliran Hikari yang ditindas. Dia dikucilkan teman-teman sekelas karena diriku, dan orang-orang di sekolah mengabaikan hal ini. Tidak ada yang berani membelanya. Dilihat dari sisi mana pun, itu semua salahku. Akulah yang membuat dirinya hingga diperlakukan begitu. Namun aku terus mengabaikannya. Hikari berusaha menghubungiku, tapi aku tidak punya nyali untuk mengangkat ponsel-ku. Dia terlalu menyilaukan mataku. Perlahan, aku pun tidak bisa mengungkapkan siapa yang harusnya kusakiti, dan akhirnya justru membenci temanku yang paling berharga itu. Pada suatu hari, dia mengirim pesan padaku, itu seperti sebuah wasiat, dan sepertinya itu adalah pesan terakhirnya untukku. Sebuah pesan yang dikirim tidak lama sebelum kematiannya. Aku tidak mampu lagi menjalani ini, dan aku pun ingin segera mati. Namun aku tidak ingin mati begitu saja. Jika orang-orang yang membuat Hikari masih hidup, aku tidak bisa mati begitu saja."

Kazeshiro hampir tidak mampu mengatur napasnya,

Dia tampak seperti sedang kesakitan, menderita, menolak kenyataan jika dirinya masih hidup.

"Apa kamu mau membunuh semua orang yang menindasnya ...?"

Aku hampir saja tidak bisa melontarkan kata-kata tersebut.

Kazeshiro perlahan menggelengkan kepalanya, dengan sudut mata yang gelap, tampak tidak mengisyaratkan kesan ingin menyangkalnya.

"Aku ingin mereka menyesal seumur hidup, merasakan sakit yang sama yang membuat Hikari bunuh diri."

Dia tampak begitu tersakiti sewaktu berbicara, dan jelas terlihat gemetaran.

"Lalu apa yang mau kamu lakukan?"

"... maaf, aku tidak bisa bercerita lebih dari ini. Sudah cukup, kembalilah."

Apa hanya itu yang bisa kulakukan? Hatiku tidak sedingin itu untuk menjawab, 'Baiklah, dah,' setelah mendengar perkataan sesuram tadi.

"Katakan, Kazeshiro. Jika kamu tidak memberitahuku, diriku yang besok, Hikari Yumesaki, akan kembali menanyakan hal ini."

"... kamu mengatakan hal itu lagi? Seharusnya sudah cukup bagimu untuk membahas itu."

Aku tidak suka ini, tapi aku masih harus mengatakannya, tidak peduli sampai berapa kali itu kulakukan.

"Aku dan gadis itu saling bertukar catatan harian, serta melaporkan situasi yang telah kami alami. Jika kamu tetap tidak mau bicara, akan kutulis, 'Kazeshiro membenci Hikari Yumesaki,' apa kamu sungguh mau seperti itu?"

"... aku tidak membencinya."

"Tidak peduli jika itu benar atau tidak. Kalau aku yang menulisnya, maka itu menjadi sebuah kebenaran. Dia pasti akan memercayai apa pun yang kukatakan. Apa sebenarnya niatmu? Meskipun dia membeci—"

"Diam!"

Raungan Kazeshiro menggema di udara, dan suasana dipenuhi tekanan.

"Sungguh konyol .... Apa maksudmu kalau jiwanya ada di dalam dirimu? Sungguh ko—"

"Memang sudah tidak ada lagi yang bisa kuperbuat tentang itu! Dia separuh diriku! Sekarang—"

"Terserahlah, aku sudah paham! Aku akan memberitahumu! Aku akan mati! Aku memutuskan untuk bunuh diri di hari ulang tahun Hikari. Tapi aku tidak akan mati begitu saja. Aku akan mengumpulkan media massa beserta penonton, lalu bunuh diri di depan umum. Sebelumnya aku telah meninggalkan sebuah pesan di papan gambar yang memberi tahu kapan aku akan melakukannya agar bisa mendapat perhatian dari semua orang. Setelah itu, melalui kematianku, balas dendamku pun dimulai."

Kazeshiro menarik napas dalam-dalam, kemudian menatapku.

"Akan kubeberkan segalanya pada media massa dan semua orang di sekitarku sebelum aku mati, tentang kenyataan di balik gadis itu, tentang dia yang benar-benar ditindas, dan segala informasi pribadi para pelakunya. Akan kuungkap semua yang terlibat dalam kematiannya. Lalu setelah itu .... kamu mengerti, 'kan?"

"...!"

"Setelah terungkapnya fakta tentang Hikari yang ditindas, akan ada yang orang meragukan kalau dia benar-benar mati karena kecelakaan. Polisi tidak punya pilihan lain selain melanjutkan investigasi. Apa yang terjadi setelahnya akan jelas terpampang. Berita mengenai bunuh diri ini akan tersebar, dan publik akan ikut memerhatikannya!"

"... apa itu alasanmu ingin mati?"

"... Sakamoto, apa kamu pernah membaca komentar-komentar di internet? Mereka pasti akan terpancing. Seorang gadis cantik bunuh diri setelah dipermalukan, dan seorang lelaki yang menyukainya ikut bunuh diri dalam rangka membalas dendam. Mereka-mereka yang telah menindasnya pun akan disalahkan. Aku ingin agar mereka memendam rasa bersalah yang tidak akan bisa hilang."

Kazeshiro memancarkan kegelapan dalam hatinya sewaktu menatap langit dengan nestapa.

Dengan raut yang amat pucat, dia tampak seakan menyerah pada segalanya.

"Inilah balas dendamku, Sakamoto. Sebagai orang yang terlibat, bantu aku mengatur semuanya setelah aku mati."

"Jangan bercanda."

"Ya, bercanda. Hahaha."

Tampaknya ... ada yang tidak beres tentang ini.

"Gadis itu ..., Hikari Yumesaki, pasti tidak menginginkan ini."

"Mungkin. Aku tidak bisa menjadi pahlawan yang dia harapkan, tapi bagiku itu sudah cukup."

Kazeshiro lalu berbalik dariku.

Aku merasa kalau dia tidak akan menoleh ke arahku, atau mungkin hanya perasaanku saja.

"Aku akan mati, dan Hikari akan bangkit kembali ... dalam ingatan semua orang."

Kazeshiro mengekspresikan segala keputusasaan yang ada di dalam hatinya.

Dan di hadapan punggung yang suram itu, kuteriakkan kegelisahan terakhirku.

"Aku pasti akan menghentikanmu, Kazeshiro! Itu pasti ...! Meski itu kamu lakukan demi Hikari."

"Cobalah kalau kamu bisa. Meski hati Hikari tidak pernah menjadi milikku, perasaanku padanya tidak akan kalah dari siapa pun. Sampai berapa kali pun, aku akan tetap membelanya."

Lalu, suara gemerisik dari kerikil yang bergesekan itu pun berangsur menghilang.

Ditambah ....

Setelah pernyataannya, Kazeshiro meninggalkanku sebuah ucapan,

"Hidupmu penuh dengan kebahagiaan."

"Hah?"

"Maaf karena sudah memukulmu."

Kemudian, dia pergi.

Dan langit yang sudah gelap ini seolah memeringatkanku.


******


"Tidak ada jawaban ...?"

Hatiku sedikit hancur melihat tidak adanya jawaban yang tertulis di buku catatan.

Memang sudah kuduga. Aku tidak berharap pikiran Hikari Yumesaki akan berubah selama dua hari ini, dan aku tidak punya waktu untuk bersikap murung hanya karena hal ini.

Tanggal 9 Juli, dua hari berlalu sejak Kazeshiro bersumpah membalas dendam.

Semenjak saat itu, aku telah memutar otakku untuk memikirkan cara menghentikannya.

Lelaki ini berusaha menggunakan kematiannya sendiri untuk menarik perhatian, dan membalas orang-orang di sekolah menggunakan internet dan media massa.

"Masalah menjadi semakin serius ...."

Seperti yang Kazeshiro katakan, balas dendamnya berkutat pada terciptanya kontroversi di internet.

Tampaknya hal itu akan berpusat pada cerita yang dia tinggalkan di papan gambar, dan akan menyebabkan orang memperdebatkan kebenarannya.

Omong-omong, setelah melihat-lihat informasi yang tertera pada internet, inilah yang bisa kusimpulkan.

Rencana balas dendam akan dilaksanakan pada tanggal 18 Juli, waktu tidak diketahui.

Tempat kejadian rencananya di jalan dekat stasiun kereta. Lokasi tepatnya tidak diketahui.

Hanya ini yang bisa kudapatkan. Tampaknya dia sungguh-sungguh berniat balas dendam tepat di hari ulang tahun Yumesaki, tanggal 18 Juli.

Rasanya kesal karena tidak tahu kapan pastinya, tapi dia sempat bilang jika ingin menarik perhatian, jadi setidaknya aku bisa mengira itu akan terjadi saat siang ataupun malam.

Ada begitu banyak kemungkinan tempat yang bisa dia pilih, tapi bukan itu masalahnya. Kemungkinan terbesar yaitu di sekitar persimpangan dekat stasiun, tempat Hikari Yumesaki mati dalam kecelakaan. Dikarenakan dia berencana melakukannya saat ulang tahun Hikari Yumesaki, aksinya ini jelas akan dilaksanakan di TKP.

"Omong-omong, apa hanya ini saja yang bisa kukumpulkan?"

Jujur, informasinya masih terlalu sedikit. Aku tidak bisa berbuat apa-apa hanya dengan ini.

Jika aku melapor ke polisi perihal ini, harusnya akan ada penanganan, tapi itu tetap tidak ada gunanya. Jika aku tidak bisa menyembuhkan luka psikologisnya, memenjarakannya hanya menunda tragedi yang tidak terelakkan. Dia pasti akan berusaha bunuh diri lagi. Bagaimanapun caranya, aku harus membuat kazeshiro berubah pikiran.

Lalu, aku menemukan masalah terbesar.

Hari ulang tahun Hikari adalah tanggal 18 Juli.

Sayangnya, aku tidak punya kendali atas tubuhku di hari itu.

Aku berusaha menghitung jumlah harinya, tapi hasilnya selalu sama, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan kata lain, tidak ada yang bisa kulakukan di hari dia membalas dendam.

Itu berarti, biar bagaimanapun, bantuan Hikari Yumesaki amat sangat dibutuhkan ....

Kutuliskan semua hal yang kudengar dari Kazeshiro, mengenai rencana balas dendam, pesan yang seperti sebuah wasiat, semua kenangan-kenangannya. Akan tetapi, Hikari Yumesaki tidak pernah memberiku jawaban. Mempertimbangkan perasaan gadis itu, kurasa kali ini tidak ada jalan keluar.

"Lebih baik kukatakan saja."

Aku bergumam sendiri dengan sikap berdoa.

Kemudian kutuliskan hal yang sama seperti yang kutulis kemarin lusa.

-

    Kita harus menghentikan Kazeshiro. Aku perlu tahu beberapa kenangan yang hanya diketahui oleh dirimu dan dirinya saja. Apa pun itu, beri tahu aku. Kumohon.

-

Lebih dari itu, tidak ada lagi yang bisa kulakukan padanya. Aku hanya bisa menunggu sembari memercayakan soal ini padanya. Dan sementara itu, ada persiapan lain yang harus kulakukan, karena itu aku masuk ke kamarku.

Omong-omong, informasi terpenting yang kupunya adalah soal aksi Kazeshiro.

Dia berniat untuk bunuh diri di hari ulang tahun Hikari Yumesaki.

Tapi bagaimana caranya dia melakukan itu?

Apa rencananya itu mampu berhasil di muka umum?

Untuk memahaminya, aku perlu memantau kegiatan Kazeshiro. Sebagai penguntit pemula, aku akan ketahuan. Dan aku sudah pernah sekali ketahuan.

Lalu, aku memikirkan kartu rahasia yang kumiliki.

******

"Maaf, bisa tolong katakan lagi?"

Saat ini, aku sedang duduk bersimpuh di kamar adikku sambil menundukkan kepala, lalu memohon,

"Tolong bantu aku menguntit lelaki yang bernama Kazeshiro itu!"

Kartu rahasia andalanku, Dik Yukiko.

Tidak diragukan lagi semuanya akan berjalan lancar jika dia terlibat. Dan alasannya, sudah tidak perlu lagi disebutkan.

"... kenapa kamu memintaku melakukan itu? Lagi pula, siapa Kazeshiro?"

Adikku masih saja terus berpura-pura bodoh. Yah, itu tidak penting sekarang.

"Kazeshiro adalah lelaki yang belakangan ini minum kopi bersamaku di kafe Bintang Antartika. Kupikir kamu menguntitnya setiap hari, karena itu, beritahu aku apa yang selama ini dilakukannya."

"Kenapa Yukiko harus membantumu?"

"Soalnya aku kesulitan karena terlalu mudah ketahuan. Dalam hal ini, kamu lebih ahli dibandingkan aku, 'kan?"

"Dibandingkan dengan Kakak .... Tapi kenapa sampai sepenasaran itu?"

"Karena aku mau tahu lebih banyak lagi soal lelaki itu."

"Hah?"

Wajah adikku tercengang bagaikan ikan 'manbou'.

Begitulah, aku sudah paham betul fetis adikku ini. Itu sebabnya aku memanfaatkan dirinya.

"Kumohon. Sepertinya dia berselingkuh dengan lelaki tidak dikenal tanpa sepengetahuanku. Aku jadi merasa jengkel karena itu. Kenapa aku jadi begini .... Apa jangan-jangan ...."

"Ah, eh, eh ...?"

Bagus. Dia terpancing.

"Itu sebabnya, aku jadi penasaran dengan Kazeshiro. Jadi kumohon, bantulah aku!"

"A-aku penasaran?! Ra-rasa cemburu ini terlalu menggemaskan, moe ...!"

Dengan seluruh wajahnya yang memerah, adikku terus tergagap.

Bagus. Seperti yang direncanakan. Tinggal sedikit dorongan lagi.

"Berjanjilah padaku Yukiko. Gerak-gerik Kazehiro selanjutnya mungkin akan memengaruhi hidupku! Aku serius!"

"Hi-hidup?! A-apa kamu dan Kazeshiro sudah sejauh itu?"

"Ya, tentu saja!"

Pernyataan tegasku barusan menjadi pukulan telak bagi adikku, dan setelah mendengarnya, dia menjerit, wajahnya kebingungan saat melihatku.

"... si-siap! Akan kulakukan yang terbaik demi Kakak! Aku akan berusaha keras supaya dia tidak jatuh ke tangan lelaki lain!"

"Adikku memang bisa diandalkan! Kamu akan membantuku, 'kan?"

"Ya! Aku akan membantumu!"

Seketika kudengar jawaban samar tersebut, aku kembali membungkukkan badan kepada adikku, lalu meninggalkan kamarnya. Sepertinya hal ini akan menjadi masalah di kemudian hari, namun untuk sementara ini, semua akan baik-baik saja.

"Kalau begitu, kini saatnya memanggil mereka."

Kubuka daftar nomor kontak di ponsel-ku selagi berlari di bawah langit mendung.

*****

"... ini misi kalian. Kalian bisa?"

"I-ini terlalu berbahaya ...."

Kini aku berada di lapangan parkir sebuah pusat permainan, berkumpul dengan geng berandalan pimpinan si rambut 'mohawk', merencanakan sebuah hal yang rahasia. Agar suasananya mendukung, para berandalan sengaja duduk di bawah, dan aku berdiri. Pinggangku terasa sakit.

Kartu rahasia yang kedua, si rambut 'mohawk' beserta anak buahnya.

Tidak ada lalu-lalang yang berani mendekati kami, dan aku tidak yakin kalau itu gara-gara model rambut para berandalan ini. Aku tidak perlu cemas akan bocornya informasi.

"Kalian bisa melakukannya, 'kan? Tidak perlu menghabiskan banyak waktu."

"Ta-tapi, Sakamoto ..., meski kamu sendiri yang memintanya."

Padahal aku sudah begitu bersemangat, namun si rambut 'mohawk' tampak sedikit ragu. Ya ampun, mereka ini berandalan, tapi masih saja pengecut. Kuduga alasan mereka menjadi berandalan dikarenakan sifat pengecut tersebut. Aku mengerti sekali soal itu.

"Sakamoto, aku tidak mau melakukannya. Andaikan bisa, aku pasti akan mengikuti perintahmu, tapi kalau kami melakukannya, polisi bisa terlibat. Moto kami adalah tidak membuat kegaduhan di tempat umum, sehingga kami bisa berbuat kenakalan tanpa merusak masa depan yang cerah ...."

Sungguh moto yang menyejukkan hati. Lantas kenapa mereka justru menjadi berandalan?

Tapi aku tidak boleh patah semangat. Ini juga demi sebuah masa depan yang cerah.

"Tentu saja aku tidak meminta dengan cuma-cuma. Aku akan memberi kalian imbalan."

Kubuka ponsel-ku, lalu mulai membuka daftar kontak pada layarnya.

Kemudian aku melirik ke arah para berandalan yang memandangiku, dan dengan tenang bertanya,

"Apa kalian tahu perbedaan antara daftar kontakku dan punya kalian?"

"Eh? Perbedaan?" "A-apa bedanya?" "Entahlah." "Bukankah pertanyaan ini terlalu sulit?"

Keraguan muncul di diri para berandalan, lalu aku berkata,

"Di daftar kontak ini ... ada banyak nomor gadis!"

"Waaaaaaaaaaaaahhhhhhhh!"

Teriakan serempak mereka membuat tempat ini bergetar, dan orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar kami sampai terkaget. Tidak pernah kukira akan membuat kesepakatan semenyedihkan ini dengan orang lain. Kurasa yang disebut pencitraan itu memang sangat penting.

"Bagaimana? Ada lebih dari tiga puluh gadis yang sempat bertukar nomor denganku, di antaranya ada yang menyukaiku, dan ada yang pernah mengajakku pacaran. Kalaupun aku meminta mereka berfoto dengan pose mesum ..., yah, lihatlah sendiri."

Sekilas kuperlihatkan gambar erotis yang ada di ponsel-ku pada para berandalan itu, dan di sana ada gambar Kasumi dengan 'G-string' serta adikku yang memakai gaun berpunggung terbuka, ditambah foto salah satu teman sekelasku yang memakai 'pantyshot' ..., juga fotoku yang memakai 'T-back'. Setidakny aku sudah menyensor di bagian mata demi menghormati privasi para model di foto ini. Aku lalu menambahkan dengan santai.

"Aku bisa dengan mudah mendapatkan foto-foto semacam ini."

"Sungguh hina! Dasar mata keranjang!"

"Yah, aku tidak tertarik dengan gadis-gadis itu."

"Waaaaah! Luar biasa!"

Para berandalan itu berteriak dibarengi wajah yang memerah, sambil menutupinya dengan tangan.

Maaf. Aku merasa menyesal karena sudah mempermainkan hati polos mereka. Kurasa aplikasi yang dipasang oleh guru mesum itu memang bisa diandalkan di saat seperti ini. Ucapan, 'Kamu Pasti Bisa Mendapat Foto Celana Dalam!' benar-benar bisa berguna kali ini. Dan sebagai catatan, bukan aku yang mengambil foto-foto tersebut, itu ulah Hikari Yumesaki. Ditambah, aku tidak bisa menghapus foto-foto itu! Meski aku harus berterima kasih karena hal tersebut, aku tidak boleh banyak mengeluh.

"Ada banyak gadis yang akan menuruti setiap kemauanku. Kalian tahu maksudnya, 'kan?"

*Glek*

"Kalau misi ini sukses, akan kuizinkan kalian berfoto bareng dengan para gadis tersebut!"

"Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!"

"Dan aku akan mengatur agar kalian bisa pergi makan bareng dengan mereka!"

"Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!"

"Dan selanjutnya terserah kalian! Biarkan ranjang saja yang berdecit!"

"Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!"

"Apa kalian setuju?!"

"Setuju!"

Para berandalan menanggapinya serentak, dan masing-masing tampak sumringah sewaktu berjabat tangan denganku. Kami lalu bersumpah darah (sebenarnya menggunakan tinta merah tua karena darah itu terlalu sadis), kemudian membubarkan diri.

Semuanya sesuai rencana. Pertahanan untuk tanggal 18 Juli itu sudah sempurna. Yang kubutuhkan sekarang hanyalah menunggu laporan dari adikku.

Diam-diam aku bergumam, membuat pose kemenangan sewaktu mengendarai sepeda, dan menatap ke arah langit mendung.

Kurasa tidak masalah kalau hanya berfoto berdua.

*****

"Yak, tidak masalah."

Kucoba menulis menggunakan spidol yang kubeli dalam perjalanan pulang.

Itu hanya sebuah spidol bertinta minyak, dan untuk jaga-jaga, aku memilih yang ukurannya besar. Jika semua sesuai rencana, spidol ini akan memberi sentuhan akhir.

Sudah lewat beberapa hari sejak dimulainya persiapan tempur serta pengerahan para berandalan. Aku telah melakukan semua persiapan yang kubisa.

Hikari Yumesaki masih belum memberi tanggapan, dan aku hanya bisa menunggu. Kembali kutulis hal yang sama seperti yang kutulis kemarin lusa pada buku catatanku, lalu menutupnya.

Kemudian kubuka 'buku catatan lain'.

Belakangan ini adikku berangkat sekolah lebih awal dan sering pulang telat. Senyumannya dipenuhi rasa percaya diri sewaktu dia menyerahkan 'itu' padaku. 'Itu' adalah harapan umat manusia.

Benar. Ini adalah catatan harian penguntitan Kazeshiro.

Sampul bukunya terdapat tulisan,

-

    ~ Guguran Daun Berahi Angin Musim Gugur  ~

-

Yah, aku tidak mengerti maksud judul itu, dan aku terlalu malas mempersoalkan  masalah sepele ini. Ketika aku menerima buku catatannya, kubilang padanya, 'Jangan masuk kamarku, ada sesuatu yang harus kulakukan,' dan dia pun berteriak histeris, 'Sesuatu?! Waktunya Kazehiro?! Kyaaaah! Kyaaaaah!' yah, aku sudah tidak peduli lagi. Dia menggila.

"Kumohon, satu petunjuk saja tidak masalah."

Aku terlihat memohon di depan sampulnya sewaktu mengatakan itu. Kemudian dengan hati-hati kubuka buku catatan tersebut.

Tulisan tangan adikku tampak rapi dan menggemaskan seperti Hikari Yumesaki, tapi berbeda dalam gayanya. Tulisannya agak mirip sepertiku walau tidak sepenuhnya begitu. Kemudian kutelusuri catatan adikku.

Lalu, aku menjadi yakin.

Bahwa adikku ternyata luar biasa.

Data yang dikumpulkannya beberapa hari ini cukup memenuhi sebuah buku catatan berstandar mahasiswa. Ada beberapa foto Kezehiro sedang mandi dan berganti pakaian, namun untuk saat ini, aku terlalu malas menanggapinya. Entah kenapa, kurasa kecendrungan menguntitnya ini pasti akan menjadi hal istimewa di masa depan (dalam artian buruk).

Kubuang pikiran-pikiran yang sudah berlebihan itu, dan fokus membaca isi dari buku catatannya.

Kazehiro menjalani gaya hidup yang teratur, dan kegiatannya berdasar pada bangun pagi, berangkat sekolah, dan pulang ke rumah setelah pelajaran selesai. Cukup dengan fakta itu saja dirinya tampak seperti seorang penyendiri. Meski begitu, ada kalanya dia beralih dari kegiatannya yang biasa. Dengan kata lain, kegiatan tersebut ada hubungannya dengan 'balas dendam'.

-

    Dia keluar dari rumah pukul empat pagi. Apa untuk sekadar jalan-jalan? Dia pulang tanpa melakukan hal istimewa. Dia menampakkan wajah yang menyeramkan. Hal ini meninggalkan kesan tersendiri bagiku.

-


Ini masih belum cukup untuk memastikan rencananya.

-

    Pagi ini, tanpa izin dia memasuki sebuah gedung kosong. Apa yang mau dia coba lakukan?

-

Saat di titik ini, aku mulai sadar.

-

    Dia masih bangun lebih awal, dia membawa sebuah jeriken ke gedung kosong itu. Sepertinya itu pekerjaan berat untuk tangannya yang kurus itu.

-

Perkiraanku pun menjadi kenyataan.

-

    Dia kembali ke gedung kosong itu pagi ini, dan tampak melamun sewaktu melihat ke luar jendela, setelah itu dia pulang ke rumah.

-

"... apa dia sungguh-sungguh?"

Informasi ini memang terbatas, tapi aku sudah mengerti intinya.

Dia ingin bunuh diri, masih mencari cara agar bisa menderita dalam keadaan yang mengerikan. Dia sudah bertekad untuk bunuh diri.

Kembali kudecakkan lidahku, lalu meraih buku catatan yang sudah sering kugunakan itu.

-

    Kumohon, tolonglah! Masalah ini menjadi semakin tidak bisa dihindari!

-

Sekali lagi aku meminta Hikari Yumesaki agar mau menuliskan kenangan di antara mereka berdua.

Jika perkiraanku tepat, tidak akan ada masalah pada operasi pencegahan Kazeshiro nanti. Semuanya akan tepat sasaran jika penempatan waktunya juga tepat.

Tapi aku masih butuh kartu lain. Rencana ini tidak akan berhasil selama Hikari Yumesaki tidak mau menjawab.

"Aku pasti akan menghentikanmu ..., Kazeshiro."

Hari ulang tahunnya tinggal lima hari, sebentar lagi.

*****

Dua hari kemudian, hari Minggu.

Aku terbangun dalam kondisi bugar, sesuatu yang sudah lama tidak pernah kurasakan lagi.

Apa Hikari Yumesaki menuliskan sesuatu?! Dengan harapan yang sangat tinggi, aku melompat dan segera membuka buku catatan.

Akan tetapi,

"Tidak ada ...."

Kutanya adikku sewaktu kami menyantap sarapan. Tampaknya kemarin aku tidur lebih cepat, dan itulah sebabnya aku merasa bugar. Namun itu berarti dia melanggar prinsipnya yang ingin selalu bergadang.

Kini aku harus apa? Ini menjadi semakin buruk.

Operasinya akan dilaksanakan tiga hari lagi.

Aku sudah melakukan semua persiapan yang kubisa.

Terkecuali satu hal.

Aku hanya perlu satu kartu agar bisa meraih 'royal straight flush', dan seharusnya rencanaku ini mampu merusak rencana balas dendamnya.

Akan tetapi, aku pun harus menyerah jika cacat ini terus berlanjut. Dampaknya akan nyata andai aku bisa mendapat kartu terakhir. Rencana ini tidak akan pernah berhasil selama aku tidak mendapatkan bantuan dari Hikkari Yumesaki.

"... hmm?"

Ada getaran dari dalam sakuku, menandakan jika ada pesan masuk.

Kutatap layar ponsel.

[Apa aku bisa bertemu denganmu nanti?]

Terlepas dari isi pesannya, justru nama pengirimnya sendiri sudah membuatku terkaget.

"...."

Lalu, sambil memegang erat ponsel-ku, aku pun berlari kencang di atas aspal yang gelap ini.

Benang yang pernah aku putuskan

Mungkin selama ini tidak terbakar sepenuhnya.

Aku memohon dalam hati selagi berlari.

Langit semakin menghitam, seakan bersiap untuk menangis.

******

Sudah kuduga, aku terlalu lama. Setelah banyak hal yang kulalui sampai di titik ini, dadaku terasa sesak.

"Maaf karena mendadak memanggilmu."

Taman yang dulu.

Kenangan yang dulu.

Ingatan akan masa yang telah lewat itu terlintas di benakku, tapi rasanya masih membekas di diriku.

Teman sekelasku, Kasumi.

Dinginnya es krim saat itu masih tertinggal di sini, dan kini mengubah wujudnya menjadi kenangan.

Sejak pernyataan cinta waktu itu, kami pun sedikit menjaga jarak. Berkat Hikari Yumesaki yang berusaha menjaga hubunganku dengan Kasumi, setidaknya kami masih bisa berbicara satu sama lain.

Namun ada sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Yaitu warna langitnya, posisi duduk kami, dan senyum di wajahnya hingga akhirnya dia memilih duduk.

"Ada apa? Kenapa mendadak?"

"E-eng ..., ada sesuatu yang harus kutanyakan padamu."

Dia tergagap seperti biasanya, sorot matanya tidak menentu di hadapanku.

Meski kepribadian kami berbeda, dan Hikari Yumeski sudah bersikap kooperatif, namun akulah yang menggagalkan semuanya, dan dilihat dari sisi mana pun, itu tetap sebuah episode terburuk dalam hidupku. Kupikir predikat jelekku ini akan tersebar di sekolah dan mungkin aku akan dikucilkan teman-temanku, namun tidak disangka, seisi kelas menganggapku sebagia sosok yang bisa diandalkan. Bahkan beberapa gadis pun bersikap baik padaku. Jadi kurasa Kasumi tidak mengatakan hal-hal buruk tentangku. Aku sungguh harus meminta maaf mengenai ini. Aku benar-benar sudah menolak pernyataan cinta seorang gadis yang luar biasa, dan mungkin semua orang berpikir kalau aku sudah gila. Aku sungguh amat menyesal.

Kasumi memang gadis yang baik.

Lalu apa yang kini dia inginkan dariku?

"Sakamoto, kuharap kamu tidak marah, jadi dengarkanlah."

Menjadikan kata-kata tersebut sebagai pembuka, dia lalu melanjutkan.

"Apa hubunganmu dengan gadis itu ... berjalan lancar?"

"Eh?"

Sebuah pertanyaan yang tidak kuduga. Apa maksudnya?

"Ke-kenapa kamu menanyakannya?"

"Belakangan ini kamu terlihat seperti ada masalah, karena itu aku jadi penasaran. Jika bukan begitu, aku minta maaf ...."

....

Bahkan dia pun berpikir kalau aku sedang punya masalah?

Jika gadis ini saja sampai berpikir demikian, berarti mungkin Hikari Yumesaki benar-benar sudah mencapai batasnya. Sial.

"Eng ..., jadi, kamu memanggilku apa karena ingin menyemangatiku?"

"... tidak, bukan itu."

Kasumi menundukkan kepalanya sewaktu bergumam,

"Kupikir ini akan jadi sebuah kesempatan ... jika hubunganmu dengannya tidak berjalan baik .... Jadi, mungkin saja aku ..., aku masih punya kesempatan ...."

"...."

"... kurasa memang mustahil. Maaf ..., tapi aku masih belum mau menyerah."

Tidak ada yang bisa kuperbuat selain mengalihkan pandanganku.

Itu karena aku tidak sanggup untuk melihat ke arahnya. Kenapa dia masih menyukaiku? Padahal seharusnya kini dia membenciku. Walau begitu, aku paham bagaimana perasaannya sekarang. Andai aku menyukai seseorang, mustahil semudah itu aku mampu membencinya.

"Kasumi, boleh aku mengatakan sesuatu yang kejam padamu ...?"

"Eh—"

Aku menatap langsung ke arah matanya.

Lalu, perlahan kurangkai kata-kata ini,

"Seseorang yang amat penting bagiku sedang menderita. Aku ingin menyelamatkannya, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin melindunginya, merangkulnya, mendekap keningnya, agar bisa menenangkan dirinya. Tapi aku tidak bisa melakukan itu semua."

Bahkan aku tidak bisa berhadapan dengannya, menggenggam tangannya, atau saling bertutur kata dengannya.

Bagi kami, ini adalah keinginan yang tidak akan pernah bisa terwujud.

Aku jatuh cinta pada seorang gadis yang tidak akan pernah bisa kutemui.

"... kamu begitu cinta pada gadis itu ...."

Gumam Kasumi seraya memejamkan matanya.

Suaranya teramat pilu hingga membuatku tidak sanggup menatapnya.

"Aku harus apa? Bagaimana agar dia tersenyum lagi? Jika itu dirimu ..., apa yang kamu ingin aku lakukan?"

Aku sadar sudah mengatakan hal yang kejam.

Aku pun merasa telah melakukan banyak hal kejam pada Kasumi.

"... maaf, karena sudah mengatakan hal sekejam itu."

"Ti-tidak, jangan khawatirkan itu. Aku senang karena kamu ... di situasi seperti ini masih mau memikirkan perasaanku ...."

Kudengar sebuah suara yang tersedak, yang kemudian segera dikuasai isakan.

Matanya tampak mulai berkaca-kaca, dia lalu memberi sedikit senyuman.

"Buka hatimu. Jika kamu bisa menyampaikan perasaanmu padanya, dia pasti akan tersenyum. A-aku pasti akan mengharapkan itu darimu, Sakamoto .... Jika itu aku .... Karena aku ingin tahu seperti apa sesungguhnya yang ada di benak orang itu ...."

"...."

Aku merasa ada yang seketika melintas di pikiranku.

Hal yang selama ini berusaha kujauhi akhirnya menunjukkan wujud aslinya.

"... kamu memang orang yang baik, dan selalu begitu ..., sampai kapan pun ...."

"Aku tetap bukan orang yang baik."

"Itu tidak benar. Kamu memang baik hati, Sakamoto. Baik hati dibanding siapa pun."

Ujarnya dengan suara hangat yang tampak hendak melahap diriku yang hampir terbakar habis layaknya sebuah lilin.

Sekaligus merangkulku dengan lembut, mencegahku supaya tidak padam.

"... fufufu, kini kamu berhutang banyak padaku ...."

Katanya sembari berdiri, lalu berbalik ke arahku.

Dengan memperlihatkan giginya, dia pun menyunggingkan sebuah senyum langka yang begitu memesona.

"Sampai ketemu besok, Sakamoto. Dah."

Dia kembali tersenyum, terlihat seolah telah merelakan sesuatu sewaktu berlalu pergi.

Kulemaskan bahuku setelah sekian lama, dan melihat ke atas langit.

Kemudian kusuarakan kata-kata yang tidak dapat kuucapkan.

Terima kasih karena mencintai diriku yang seperti ini.

*****

"Hanya sebegini sajakah?"

Setelah mengucapkan perpisahan pada Kasumi, aku duduk dan menatap ke arah buku catatan selama beberapa jam untuk menuntaskan bagian ini,

-

    Aku tidak pernah menyesal telah menyelamatkanmu, dan sampai kapan pun, hal itu tidak akan kusesali. Jadi, percayalah padaku. Aku akan melindungimu.

-

Hanya untuk menulis kalimat ini saja sudah menghabiskan banyak waktu.

Tapi ini adalah perasaanku sebenarnya yang sejauh ini bisa kupikirkan.

Perasaan sebenarnya yang tidak bisa aku ungkapkan sebelumnya.

Setelah berbicara dengan Kasumi, Akhirnya aku sadar betapa seringnya Hikari Yumesaki berkeluh-kesah padaku.

"Akan kuserahkan diriku besok padamu, Kasumi."

Lalu aku pun tertidur.

Aku melihat seorang gadis dalam mimpiku.

Dan dia berdiri di belakangku sambil tersenyum



*****

"... hah?"

Aku tiba-tiba terbangun dari tidurku.

Kegelapan dan angin senyap mengelilingi tubuhku, dan kesadaranku berdiam di dalamnya.

Aku berdiri di beranda, memandang pada terbitnya matahari di langit.

... aku tidak tidur ...?

Sepertinya Hikari Yumesaki tidak tidur dan menunggu hingga pukul 4.59 pagi. Apa artinya ini? Aku mulai takut memikirkannya, dan segera memeriksa tanggal pada ponsel yang ada di tangan kiriku.

Tanggal 17 Juli, dan besok adalah hari ulang tahun Hikari Yumesaki.

"—ah."

Lalu, aku menyadari ada sesuatu di tangan kananku.

Satu-satunya jembatan yang menghubungkan aku dengannya.

Buku catatan yang bisa dianggap sebuah ikatan antara aku dan dirinya.

"... dia melakukannya ...?!"

Dan aku tidak punya waktu untuk meragu.

Suara halaman yang dibalik menggema saat aku terburu membukanya.

Di situ tertulis jawaban yang ditunggu-tunggu darinya.

Harapan terakhir yang dititipkan Hikari Yumesaki padaku ....

-

    Maaf. Aku akan menceritakan segalanya padamu. Kamu harus menghentikan Kazeshiro!

-

Sungguh hal langka melihat gadis ini tidak sedang bercanda ataupun mengerjaiku. Kalimat itu terasa seperti sebuah doa.

... kebenaran? Apakah itu?

Seketika itu aku mendadak ragu apakah terus lanjut membacanya atau tidak. Namun aku menggelengkan kepala dan membuang segala pemikiran yang tidak diperlukan itu.

Tidak peduli seberapa menyakitkan sebuah kebenaran itu.

"Karena aku adalah rekanmu, Hikari Yumesaki."

Kugumamkan kata-kata itu dan lanjut membaca.

Kebenaran tentang Hikari Yumesaki, hal yang dia percayakan padaku—

..........

.......

....

"... serius ...?!"

Tunggu ..., itu ....

Sebuah kebenaran yang tidak kuduga hingga membuatku mengeluarkan suara erangan yang dalam, dan kembali kuperiksa tanggal pada ponsel-ku.

Tanggal 17 Juli, pukul lima lewat.

Rencana Kazeshiro akan berlangsung pada tanggal 18 Juli.

Hanya tersisa 24 jam lagi.

"... tidak ada pilihan selain pergi."

Kukepalkan tinjuku di bawah awan mendung yang entah sedang menutupi bulan atau matahari itu.

*****

Hujan terus turun dengan lebatnya, dan kini sudah pukul 4.30 pagi.

Aku menunggu di dalam gedung kosong hingga waktunya tiba.

Kini tanggal 18 Juli, hari ulang tahun Hikari Yumesaki akhirnya datang.

Sekaligus hari di mana Kazeshiro akan membalas dendam.

Fajar mulai datang, tapi aku hanya punya waktu 29 menit lagi. Setelahnya, bukan diriku lagi yang menjalani, dan aku harus menghentikan semuanya sebelum itu terjadi.

Bahkan meski sedang hujan deras, namun aku bisa melihat beberapa reporter di sekitar jalanan ini, yang hadir setelah Kazeshiro mengumumkan niat bunuh dirinya ke internet. Mereka tidak tahu di mana, kapan, ataupun seperti apa tepatnya aksi tersebut. Rupanya mereka punya banyak waktu luang untuk meliput ini.

Tapi tidak masalah sekalipun mereka di sini. Atau tepatnya, justru bagus kalau mereka ada di sini.

Lelaki itu seharusnya akan segera kemari—

"Arrrrrggghhh!"

"—?!"

Terdengar sebuah erangan keras sewaktu hujan.

Dan di saat yang sama, sekelompok media massa mulai mencari-cari asal keberadaannya. Lalu tampak sosok dari seseorang—

"Itu aku! Aku akan bunuh diri sekarang! Arrrrrggghhh!"

Seorang lelaki berdiri di tengah persimpangan yang sedang sepi dari kendaraan, dan meraung.

Sebuah motor dengan mesin yang bergemuruh.

Sosok yang tingginya sama denganku.

Memiliki tubuh yang terlatih.

Lalu, lalu—

Si rambut 'mohawk' tidak mau kalah berisik dengan suara hujan!

"Apa gunanya hidup tanpa berfoto bareng gadis-gadis! Lihatlah aku! Saksikan kematianku!"

"Hei, tunggu! Kamera, bersiap! Dia sudah datang!"

"Apa?! Cepat sekali?!"

"Ternyata ada gunanya juga menghadang di tempat ini!"

Bodoh! Yang wajar-wajar saja kalau mau menarik perhatian! Kenapa malah sibuk membahas berfoto bareng di saat begini?

"Arrrrrggghhh! Akhirnya aku bisa berfoto bareng setelah menyelesaikan ini!"

Tapi si rambut 'mohawk' itu sama sekali tidak peduli akan kekhawatiranku.

Selagi menggebu-gebu mengumumkan niat bunuh dirinya, dia langsung mengendarai motornya. Alhasil, orang-orang yang menontonnya tadi pun mengikutinya, dan kelompok media massa itu terpancing untuk mengejarnya. Ah ..., karena rencananya berjalan lancar, kurasa itu tidak masalah.

Dan ini sungguh waktu yang tepat bagiku.

"Yo, Kazeshiro. Aku sudah menunggumu."

"... Sakamoto, kamu mau apa?"

Di depan pintu masuk gedung kosong, tampak berdiri sebuah sosok yang sedang memegang payung.

Takayuki Kazeshiro akhirnya muncul.

"Kamu sendiri? Kamu mau apa?"

"Diam! Panggilan telepon tadi .... Ternyata itu kamu! Berengsek!"

Hahaha. Kazeshiro seharusnya tidak perlu marah. Rencana itu terlalu naif.

Rencana yang butuh perhatian media massa itu terlalu gampang ketahuan. Karena itu, sebelum dia memulai aksinya, aku hanya perlu menyuruh si rambut 'mohawk' agar membuat kegaduhan dan memancing media massa untuk pergi. Entah dia tertangkap atau sukses melarikan diri, tetap tidak ada media yang akan menaruh perhatian pada aksi Kazeshiro. Jepang sudah menjadi negeri dengan tingkat bunuh diri yang tinggi. Sebuah hal biasa jika ada aksi yang meniru tindakan tersebut.

"Lagi pula, jerikenmu sudah disingkirkan oleh para berandalan itu."

"... keparat ...!"

Dan berkat bantuan adikku, setidaknya aku bisa memperkirakan rencana lelaki ini.

"Ini sebuah gedung kosong, dan kamu berniat menyiramkan bensin di sini lalu membakarnya. Itu sebabnya kamu menaruh jeriken kemari."

Jika siang hari, dan gedung kosong ini terbakar, itu pasti akan menarik perhatian. Entah seperti apa kelanjutan rencana bunuh dirinya, tapi berbuat banyak hingga di titik ini bisa dibilang sukses. Sayangnya, hanya sampai di sini saja yang bisa dia lakukan.

"Apa sebenarnya rencanamu?! Sudah terlambat jika kamu mau mengambil bensin lagi. Meski mudah bagimu untuk membakar tempat ini, tapi hujan akan turun seharian! Aku pun akan memanggil pemadam kebakaran!"

"...!"

Ternyata semua berjalan mudah. Adikku berhasil mendapatkan nomor ponsel Kazeshiro, lalu aku menunggu waktu yang tepat untuk menghubunginya dan berkata, 'Rencanamu sudah ketahuan. Kami sudah memindahkan jerikenmu,' dan semuanya beres. Lelako paranoid itu pasti akan datang untuk memeriksa.

"Ini belum berakhir, Sakamoto ...."

"Kamu memang tidak tahu diri."

Kulayangkan sebuah senyum sinis pada Kazeshiro, yang tampaknya masih belum menyerah.

Kurasa sudah tidak ada pilihan lain.

"Kazeshiro! Kamu sadar tempat apa ini?"

Tanyaku pada Kazeshiro — yang menjatuhkan payungnya — sembari menunjuk ke arah depan gedung kosong sewaktu kami saling berhadapan. Sebuah penyeberangan.

"Bagaimana mungkin aku tidak tahu?!"

"Tepat!"

Mustahil kami tidak tahu. Suatu tempat yang tidak akan mungkin bisa kami lupakan.

Ini adalah tempat di mana gadis yang kami sukai meregang nyawanya.

Bagi Kazeshiro, ini adalah akhir dari cerita.

Bagiku, ini adalah sebuah permulaan.

Lagi pula, cerita yang terjalin di sudut dunia itu harus berakhir di tempat ini.

"Kazeshiro! Seperti apa anggapanmu terhadapku!"

Teriakku seolah mengibaskan hujan yang membasahi gedung ini.

Kuharap suara ini bisa sampai pada si cengeng yang sudah tiada itu.

"Kazeshiro, dulu aku adalah sosok yang dibenci semua orang, sosok yang membuat susah semua orang. Dan yang mampu mengubah diriku tersebut tidak lain adalah Hikari Yumesaki."

Kazeshiro tidak mengatakan apa pun.

Karena itu aku melanjutkan,

"Namun ketika kupikir lebih jauh, aku sadar kalau itu salah. Aku sama sekali tidak berubah. Aku hanya merasa kalau aku sudah berubah, karena aku tidak berbuat apa-apa."

Benar, aku tidak berbuat apa-apa.

"Aku selalu berpikir kalau aku adalah orang yang tidak mampu melakukan apa pun. Tapi ternyata tidak seperti itu. Hikari Yumesaki mengajarkanku suatu hal, bahwa diriku ini mampu melakukan apa saja. Aku bisa mendapatkan teman, pacar, menjadi lelaki terpopuler di kelas. Itulah yang dia ajarkan padaku."

Aku sempat menganggap kalau dirikulah yang telah menyelamatkannya.

Tapi ternyata tidak seperti itu.

Faktanya, justru selama ini akulah yang telah diselamatkan.

Dia selalu saja menjagaku.

Lalu,

Karenanya aku tidak berubah.

Demi dirinya, aku harus menjadi lebih kuat.

"Kazeshiro, hentikanlah niat bunuh dirimu! Aksi balas dendam ini hanya menjadi pelampiasan nafsumu belaka! Tidak akan ada bedanya meski kamu melakukannya! Sadarlah!"

Meski begitu, kabut yang menghinggapi wajah Kazeshiro belumlah menghilang.

"... apa yang kamu tahu? Aku melakukan ini demi Hikari Yumesaki. Tidak ada yang bisa menghentikanku."

Berdiri di sudut gelap, Kazeshiro mengambil sesuatu dari tasnya.

Sebuah pemantik, dan botol plastik ...?

"Sakamoto, apa pikirmu ini akan cukup untuk menghentikanku? Perhatian memang telah berkurang, tapi media akan tetap mencariku. Asalkan aku mati di tempat ini, perhatian itu pasti akan kembali kemari. Semua persiapan telah selesai."

"... persiapan?"

"Besok, ketika hari berganti, ponsel-ku akan secara otomatis mengirim pesan ke stasiun berita dan pers. Sebuah pesan yang berisi kebenaran tentang kematian Hikari serta kematianku. I-ini belum berakhir!"

Tunggu—

"Apa sebenarnya maumu, Kazeshiro?"

"Sudah kukatakan berulang kali. Aku akan mati di sini hari ini. Botol plastik ini berisikan bensin, dan masih ada banyak lagi di dalam. Ini memang tidak cukup untuk membakar seluruh gedung, tapi sudah cukup untuk membakar diriku sendiri. Meski rasanya tidak menyenangkan saat menyirami kepalaku dengan bensin."

Kazeshiro lalu membuka botol plastiknya.

... bodoh!

"Hentikan, Kazeshiro! Buang pemantik itu!"

"Jangan mendekat!’

"Kubilang hentikan!"

Sial ....

Kazeshiro, banjingan! Kenapa kamu tidak mau menyerah?

"Jangan mendekat .... Aku tidak sanggup lagi ke tempat ini .... Gara-gara diriku, Hikari mati. Apa kamu tahu betapa menderitanya aku?!"

"Kamu salah! Bukan seperti itu caranya!"

"Aku tidak salah! Ini adalah penebusan terakhir yang bisa kulakukan–!"

Kemudian, Kazeshiro menyalakan pemantik di hadapannya.

Tapi, tapi ....

Aku tidak boleh membiarkan dirinya bunuh diri.

Kakiku melangkah dengan sendirinya.

Lalu, aku merasa seolah mengabaikan kepribadianku sendiri kala itu.

Pasti ada seseorang yang mendorongku dari belakang.

Aku, aku ....

Aku pernah bilang akan melindungimu—!"

"Aku pernah berlatih berenang bersama Kazeshiro, tapi tidak kami lakukan karena tidak satu pun ada yang bisa berenang!"

"—hah?"

Tepat ketika Kazeshiro hendak menyalakan api, aku meneriakkan hal itu kepadanya.

Gerakannya berhenti, dan saat melihat hal itu, perlahan aku mendekatinya, lalu berseru,

"Aku pernah mengadakan pesta ulang tahun untuk Kazeshiro di kafe Bintang Antartika! Tapi karena lupa membawa dompet, jadi aku menyuruhnya agar menanggung semua biayanya."

"Pernah suatu ketika aku ke rumah Kazeshiro untuk belajar bareng di mata pelajaran kimia, dan sewaktu kutanyakan apa itu mole, dia malah tertawa!"

"Saat Kazeshiro menulis profesi guru sebagai rencana karier masa depannya, kukatakan kalau itu tidak cocok dengannya, dan dia pun marah!"

"Kazeshiro marah saat aku menyuapinya peterseli yang tidak disukainya! Akan kubuat agar dia memakannya lagi!

"... a ...apa ...."

"... jadi itu sebabnya kamarku dipenuhi bau peterseli? Kamu harus bertanggung jawab."

Aku berdiri menghadap Kazeshiro, dan merebut pemantiknya selagi dia terbengong. Yah, itu memang berbahaya.

Kemudian kuambil buku catatan dari tas bahuku.

Itu adalah catatan rahasia antara aku dan Hikari Yumesaki. Sejujurnya aku enggan memperlihatkannya pada Kazeshiro.

"Lihatlah ini!"

Kubuka buku catatan itu lalu menunjukkannya pada Kazeshiro.

"Sudah pernah kukatakan sewaktu di pemakaman kalau dia kini menjadi separuh diriku. Aku dan gadis itu saling bertukar kepribadian setiap selang hari. Catatan ini adalah yang ditulis oleh separuh diriku yang kemarin, hal-hal yang hanya kamu dan Hikari Yumesaki saja yang tahu. Ini buktinya, dan kamu seharusnya percaya padaku sekarang."

"...!"

Mata Kazeshiro yang berkaca-kaca itu mulai membaca buku catatan.

Di sana tertulis harapan terakhir Hikari Yumesaki, kenangan yang hanya dia dan Kazeshiro saja yang tahu. Kata-katanya saling berjejalan, bahkan beberapa di antaranya tampak miring.

Dan di bagian paling bawah, dia menulis.

"Percayalah padaku, aku tidak bunuh diri."

"... eh ...? Eh?"

"Kamu sudah percaya, Kazeshiro? Dengarkan ini. Gadis itu tidak bunuh diri. Kamu mungkin berpikir kalau ini hanya gurauan, tapi lihatlah baik-baik. Halaman berikutnya akan menunjukkan alasan kematiannya."

"Tunggu, bagaimana kamu tahu soal kolam— eh, di-dia tidak ... tidak bunuh diri?"

"Ya, gadis itu tidak bunuh diri. Hikari Yumesaki menulis kebenarannya di buku ini."

"...!"

Sementara Kazeshiro tetap terdiam, aku menghela napas.

"... kini bagian merepotkannya."

Seperti apa reaksi lelaki ini nantinya? Entah kenapa, aku sendiri penasaran ingin mengetahuinya.

"Sebelum aku menunjukkan halaman berikutnya, berjanjilan dulu, Kazeshiro. Kamu sudah percaya kalau dia adalah separuh—"

"Tidak usah basa-basi. Tunjukkan saja!"

"Akan kutunjukkan padamu, tapi sebelum itu—"

"Cepatlah!"

"... baiklah kalau begitu."

Lalu kubalikkan halaman berikutnya.

Kutunjukkan kebenaran yang ditulis gadis itu pada Kazeshiro.

Kata-kata terakhir dari gadis yang kami sukai.

-

    Teruntuk Sakamoto dan Kazeshiro,

    Insiden ini terjadi karena diriku, jadi aku sungguh-sungguh memohon maaf. Tapi aku harus mengulanginya lagi.

    Aku tidak bunuh diri.

    Memang menyakitkan rasanya menjadi korban penindasan, tapi aku tidak pernah berniat bunuh diri.

    Itu memang sempat kupikirkan, tapi kamu mungkin juga punya pemikiran seperti itu, iya, 'kan, Sakamoto, Akitsuki? Khususnya ketika kamu merasa putus asa, atau merasa muak dengan segala hal. Namun sewaktu pikiranku terbesit pada ibuku maupun Kazehiro, aku pun jadi tidak sanggup melakukannya.

    Tapi pada hari itu, aku mati.

    Sesuai dengan laporan dari kepolisian, aku memang mati dalam kecelakaan karena sebuah kecerobohan. Yah, walau tidak sepenuhnya karena ceroboh.

    Di hari itu, aku ....

-


Sampai di titik ini, kurebut kembali buku catatan itu.

"A-ada apa denganmu, Sakamoto?"

"Tunggu. Sebelum ini, ada yang harus kubicarakan dulu padamu."

"Apa? Cepat katakan!"

Kazeshiro berteriak dengan wajah pucatnya, raungannya berbaur dengan suara hujan.

Ada sesuatu yang memang harus kukatakan padanya.

"Baik, Kazeshiro. Biar kukatakan terlebih dahulu. Apa yang tertulis berikutnya adalah sebuah kebenaran. Tidak peduli betapa sulit dipercayanya hal itu, yang penting jangan hilang kendali."

"... ya, aku mengerti."

"Apa pun yang kamu lihat nantinya, tetaplah kendalikan dirimu, janji?"

"... aku janji"

"Sungguh?"

"Sungguh."

....

Kami berdua saling menatap satu sama lain.

Lalu, dengan berlatarkan suara hujan yang menggema, aku melanjutkan,

"... tidak. Kurasa lebih baik kamu tidak usah mengetahui lanjutannya ...."

"Kampret! Kenapa sekarang malah ragu! Cepat tunjukkan padaku!"

"So-soalnya sudah kubilang—"

"Tunjukkan saja!"

... baiklah kalau begitu. Kamu akan menyesali ini.

Kemudian kubuka halaman itu,

"Huh ...."

—aku menghela dengan lesu.

-

    Akan kuberitahukan kebenarannya.

    Sebenarnya ....

    Pada hari kematianku, aku sebenarnya berpapasan dengan Sakamoto di penyeberangan, tempat kecelakaan itu terjadi.

    Saat itu, Sakamoto menunjukkan wajah yang amat menyeramkan, dan membuat orang-orang di sekitarnya menjauh. Itulah alasan kenapa dia akhirnya meneteskan air mata.

    Manisnyaaa!

    Moe~!

    Persis seperti tokoh lelaki yang muncul dia manga cewek.

    Layaknya antagonis yang muncul dalam 'game', seorang yang tidak bisa kamu benci!

    Lalu ..., lalu!

    Aku akan jujur, sensor BL kekinian yang ada dalam diriku berbunyi!

    Akhirnya kutemukan karakter ‘Uke’ yang telah kucari selama ini.

    Begitu serasi dengan mata 'seme' milik Kazeshiro

    Rasanya moe sekali jika berandal rendah diri saling terikat dengan si tampan Kazeshiro~

    Apalagi sewaktu Kazeshiro menundukkan Sakamoto yang matanya sudah berkaca-kaca lalu melakukan hal 'itu'. Iya, 'kan?

....

    Kemudian aku berjalan tanpa memerhatikan sekelilingku ..., dan aku pun mati.*

    Hal seperti itu bisa terjadi. Hahaha.

-

....

"... Kazeshiro ..., itu ...."

"Apa-apaan ini?!"

Wah, sebuah tanggapan yang luar biasa! Hal tersebut memang harus Hikari Yumesaki sendiri yang mengatakannya. Kebodohannya itu sudah jadi bawaan.

"Hah?! Apa kamu bilang?! Mo-moe?! Eh, tidak, mungkin aku mati saja sekarang .... Aaarrgghhh ...."

Gawat. Kenyataan yang ada di depan Kazeshiro sepenuhnya menghilang. Tenang, Tenang! Kenapa tiba-tiba dia membuka baju! Tenanglah! Waduh, kepribadiannya langsung berubah!

"Kazeshiro! Kamu harus terima ini! Terima kenyataan ini! Gadis bodoh ini mati karena ketertarikan konyolnya, dan akhirnya menjadi separuh diriku! Jadi bacalah saja!"

Lalu kubuka halaman berikutnya di depan Kazeshiro. Tertulis disitu,

-

    Soalnya, ini begitu menarik!

    Meski Kazeshiro tampak sedikit mengasingkan diri, tapi dia sangat tampan.

    Dan meski Sakamoto agak terlihat menakutkan, tapi dia sebenarnya sangat rendah diri.

    Sebuah keserasian yang jarang terjadi dalam beberapa generasi! Ditambah, Sakamoto sangat mirip dengan tokoh novel favoritku!

    Saat Sakamoto menangis, Kazeshiro akan berpura-pura menjauh, namun setelahnya akan memeluk lembut Sakamoto dari belakang .... Kyaaa!

    Bagaimana? Manis sekali, 'kan?!

-

 
"Mana kutahu!"

Kazeshiro pun berteriak hingga mengalahkan suara hujan.

Hmm, rupanya dia juga berpikiran sama denganku.

"Jangan bercanda! Ini sangat tidak logis! Bercanda sendiri juga ada batasnya! Bagaimana bisa dia tertarik dengan hal semacam itu .... Eh, omong-omong ...."

Tampaknya dia baru tersadar akan sesuatu.

Sama sepertiku.

-

    'Tidak pernah kusangka kalau kamu punya selera seperti itu (hahaha). Ikuti aturan nomor 4 (hahaha)'

-

-

    'Aku tidak begitu suka, tapi belum lama ini aku memang tertarik dengan hal semacam itu.'

-

... novel itu sendiri merupakan sebuah petunjuk atas semua hal ini.

"La-lalu, kenapa kamu tidak bilang sebelumnya?! Aku sempat ingin mati—"

"Nih, sementara akan kupinjamkan buku ini padamu untuk dibaca."

Kuserahkan buku catatan itu pada Kazeshiro, lalu mengambil botol plastik berisi bensin darinya, kemudian menggulingkannya ke samping. Oh, sebagai informasi, masih ada kelanjutan dari jawaban Hikari Yumesaki pada halaman berikutnya. Isinya memang tidak bisa dipercaya, jadi aku membacanya berkali-kali. Gara-gara itu, aku pun bisa mengingat isinya.

-

    Sebenarnya, aku sempat mau menceritakan kebenarannya! Sewaktu Kazeshiro bilang kalau dia mau membalas dendam, kupikir itu karena diriku, jadi aku ingin mengatakannya saat itu juga! Tapi jika aku menceritakannya dengan menggunakan tubuh ini, mustahil Kazeshiro akan percaya padaku .... Dan, yah, ini cukup memalukan. Aku sebenarnya menyukai hal semacam itu pada hubungan antarlelaki ..., tapi aku tidak bisa membiarkan sosok penting Kazeshiro itu mati. Itu sebabnya kuputuskan untuk mengungkapkan fakta kalau aku seorang pecinta BL! Pujilah aku!

-

"Mana mungkin aku mau! Dasar ... bodoh ...."

Ah, ini gawat.

Saat ini, Kazeshiro yang biasanya tenang dan kalem itu seakan hampir roboh. Apa otaknya sudah sepenuhnya mendidih?

"Karena ... alasan inilah ..., aku benar-benar akan bunuh diri ...."

Aku paham sekali perasaanmu. Aku pun sempat bersumpah di depan makam Hikari Yumesaki, dan mengatakan hal seperti, 'Aku pasti akan menghentikanmu, Kazeshiro! Itu pasti ...!' dan kini itu telah menjadi titik kelam dalam sejarah hidupku. Ah, tapi dia juga berkata, 'Perasaanku padanya tidak akan kalah dari siapa pun,' yang mungkin punya kesan sama.

"... Sakamoto ...."

"Ya?"

"Jadi apa maksud dari kata-kata terakhirnya itu ...?"

"Kata-kata terakhir? Maksudmu yang itu? Yang, 'Aku tidak bisa lagi hidup sendirian di dunia ini. Yang menghubungkan kehidupanku dengan dunia ini adalah tatapan dingin dan lembut itu'?"

"Bagaimana kamu bisa tahu?!"

"Saat itu aku memungut buku saku murid Hikari sewaktu di tempat kejadian, dan di dalamnya tertulis kalimat itu."

Tentu saja Hikari Yumesaki juga menjelaskan soal itu.

-

    Sebenarnya, itu potongan kalimat dari novel favoritku.

    Aku ingin menggunakannya ketika sudah punya orang yang kusukai, karena itu aku menyalinnya ke buku saku murid.

    Tapi kalimat itu memang terdengar seperti sebuah wasiat.

    Hahaha! Maaf!

-

Kali ini, yang medecakkan lidah pada ilustrasi seorang gadis cantik yang berlutut dan menundukkan kepalanya itu bukanlah aku, melainkan kazeshiro.

Bagiku yang biasanya selalu kepikiran jika berbuat sesuatu, seharusnya hal ini bisa kusadari lebih awal.

Aku menemukan novel BL yang disembunyikan Hikari sebelumnya, dan di dalamnya terdapat kalimat itu. Aku sudah melihat itu sebelumnya, tapi baru sekarang kusadari.

"Lalu kenapa dia harus memilih kalimat itu?! Dan kenapa harus di saat-saat seperti itu?!"

"Sudah, duduk saja, Kazeshiro! Berhenti membuka bajumu! Yang penting baca dulu halaman berikutnya."

-

    Yah, Kazeshiro tetap saja tidak mau menjawab panggilan teleponku.

    Meski kupikir itu adalah kalimat dalam novel, itu masih akan terasa pas di situasi semacam ini, hingga aku pun mencoba mencari tahu seperti apa tanggapanmu (hahaha). Ini sama seperti sewaktu membeli payung dan sepatu, aku bepikir akan langsung memakainya saat itu! Semacam itulah yang kurasakan.*

    Dan kupikir jika aku mengirimkan sesuatu yang punya makna dalam, Kazeshiro yang terlalu serius itu pasti akan menanggapiku. Tapi ternyata aku terlebih dahulu mati. Hahaha.

    Maaf!

-

"... eh, begitukah?"

Ya .... Kazeshiro akhirnya melihat ke arahku ....

Aku pun begitu. Aku juga berpikir kalau gadis ini memang bodoh. Sungguh.

Dan jika disimpulkan,

Hikari Yumesaki ingin menyembunyikan fakta kalau dia mati karena alasan bodoh bahwa dia adalah seorang fujoshi.

Tapi Kazeshiro begitu berkeras menganggap kalau gadis itu bunuh diri karena telah ditindas, dan berpikir untuk membalas dendam. Sedangkan aku, aku berpikir kalau dia bunuh diri, dan menganggap kata-kata yang dia tinggalkan dalam buku saku muridnya adalah sebuah wasiat.

Hikari Yumesaki ingin membersihkan kesalahpahaman ini, tapi dia juga ingin menyembunyikan alasan kematiannya.

Karena itu, yang bisa dia pikirkan hanyalah menyelesaikannya sendiri. Namun masalah selanjutnya justru semakin parah, dan Kazeshiro mengumumkan niatnya yang ingin bunuh diri.

Itu sebabnya, karena tidak ada pilihan lain, Hikari Yumesaki memutuskan untuk keluar dari pesembunyiannya.

Fujoshi yang penuh semangat itu memang terlalu tangguh ....

Hahahahaha, haha, hahaha ....

Haaa ....

Dasar .... Bahkan caranya mati pun ... begitu menggemaskan.

"Kazeshiro, paling tidak, bacalah penjelasannya hingga selesai."

Setelah ditipu habis-habisan oleh Hikari Yumesaki, Kazeshiro kini seperti kutu kayu yang baru saja terbangun. Aku lalu membalikkan halaman untuknya. Itu adalah penjelasan Hikari yumesaki yang semakin menambah siksaan mental padanya .... Begitulah pikirku.

-

    Tapi mau bagaimana lagi? Kazeshiro dan Sakamoto sama-sama tampan!

    Soalnya kalian berdua terlalu keren!

    Ada kalanya aku merasa menderita karena penindasan yang kualami.

    Tapi karena bisa melihat Kazeshiro setiap harinya, maka aku berusaha untuk tetap melanjutkan hidup.

    Aku sedih karena sudah mati, tapi berkat Sakamoto, kurasa aku masih berniat untuk terus hidup.

    Aku menyayangi kalian berdua. *Cup* Inilah bentuk kasih sayangku terhadap kalian yang masih perjaka.

    Jadi, penyebab semua ini adalah karena kalian yang begitu menakjubkan!

    Yak, benar, aku tidak bersalah!

    Oke, berdasarkan pemungutan suara mayoritas ala Hikari, telah ditentukan bahwa aku tidak bersalah—

    Itu saja~

-


"... huh."

Kazeshiro kini tampak seperti antara ingin marah atau tertawa. Ya, aku paham yang dirasakannya. Aku merasa amat marah — tapi tidak mampu karena yang mengatakannya adalah gadis yang kusuka. Aku pun begitu ....

"Sakamoto."

"Apa?"

"Izinkan aku memukulmu."

"Lakukan pada diriku yang besok."

"... pukul berapa sekarang?"

"4.58 pagi."

"Begitu. Jadi kamu sudah merencanakannya?"

"Ya. Aku tidak mungkin bisa memukul diri sendiri."

"Dengan wajahmu yang seperti itu, tidak ada alasan bagiku untuk menahan diri."

"Terserah seperti apa kamu mau melakukannya."

Syukurlah, rupaya dia lelaki yang punya pikiran terbuka. Aku sudah menjadi akrab dengannya. Mungkin kami bisa menjadi teman baik.

Sambil tersenyum kecut, kuambil spidol hitam dari dalam tasku.

"Pinjam tanganmu sebentar."

Kemudian kutuliskan beberapa kata di lengan Kazeshiro, yang belakangan mulai menunjukkan senyum yang tidak pernah kuliaht sebelumnya.

-

    Sudah kuselesaikan bagianku sebagai orang baik. Selanjutnya giliranmu. Bersikaplah tegas!

-

Kukembalikan kata-kata yang dulu pernah dia katakan.

Dengan hati yang jahil, aku terkikih.

Mungkin perasaanku telah tersampaikan sewaktu Kazeshiro menatapku sambil tersenyum dan berkata,

"Sakamoto."

"Ya?"

"Hidupmu penuh dengan keceriaan."

"... ya, itu benar."

Kemudian aku pun melihat ke luar jendela.

Kuangkat tanganku, melihat ke arah jam tangan, lalu memandang ke langit penuh awan mendung.

Matahariku bersemayam dari baliknya.

"Masih ada sepuluh detik sebelum pukul 4.59 pagi."

Aku kemudian tersenyum pada Kazeshiro — yang tidak dapat menyembunyikan rasa malunya.

"Apa yang akan kalian lakukan setelah ini?"

"Kupercayakan separuh diriku ini padamu."

Lalu, aku mati.

Dan dia kembali hidup ....




Tidak ada komentar:

Posting Komentar