Bokushinu Volume 1 Chapter 5 - Sekkinokyou

Latest

Fans Tranlation LN/WN Bahasa Indonesia

Senin, 04 September 2017

Bokushinu Volume 1 Chapter 5

CUT 5 - Hari Ini, Aku Bertemu Denganmu, Kamu Menjanjikan Balas Dendam.


Hikari Yumesaki bertingkah aneh belakangan ini.


Dan di suatu pagi di bulan Juni, keraguanku pun berubah menjadi keyakinan.

Saat itu sedang mendung, sewaktu musim hujan.

Dan setelah membaca kata-kata yang tertulis di buku catatan, aku merasa ada yang tidak beres.

"Apa dia sedang sakit?"

Dan aku langsung tersadar kalau itu mustahil.

Isi dari catatan harian itu tidak bersemangat seperti biasanya, atau jika harus lebih spesifik, isi yang tertulis di dalamnya kurasa cenderung langsung ke intinya. Sebelum ini, isi yang dia tulis itu kurang memberi informasi, tapi sekarang, isi dari tulisannya entah kenapa terasa datar.

Ilustrasi yang menjadi ciri khasnya belakangan ini telah menghilang, dan tampaknya dia lebih patuh setiap berangkat ke sekolah. Dan ada kalanya teman sekelas yang khawatir sampai menyerukan, "Bersemangatlah!" pada dirinya.

Bahkan 'puzzle' putih yang selalu diutak-utiknya itu dibiarkan terkubur di pojokan kamar, dan dia tidak pernah lagi lanjut mengerjakannya.

-

    Aku malu kalau memakai celana dalam, tapi kalau baju renang sih, tidak apa-apa! Intinya, ini berarti bukan soal mempermasalahkan area tubuh yang tertutup. Begitu menurutku.

-

Telah menyelesaikan 'puzzle' sampai di titik ini, tampak kalau dia tidak punya lagi ketertarikan untuk melanjutkannya.

Terlepas dari itu, aku jadi khawatir.

-

    Apa kamu baik-baik saja? Apa ada hal yang mengganggumu?"

-

Aku pun menulis kalimat tersebut dua hari yang lalu.

-

    Tidak ada apa-apa.

-

Dan itulah jawabannya.

"Tidak ada apa-apa, ya?"

Setiap kali gadis ini berkata, 'Tidak apa-apa,' sayangnya itu selalu bohong. Itulah jawabnya ketika dia kutanya soal pemborosan uang dan sewaktu menggoda adikku. Lagi pula kami berdua ini satu tubuh. Aku bisa langsung tahu kalau dia berbohong.

"Biarpun begitu, syukurlah .... Aku juga tidak berpikir kalau itu mungkin."

Entah karena beruntung atau bukan, tapi kepribadian sensitifku berkata bahwa aku tidak akan pernah membiarkan separuh diriku yang lain menjadi seperti ini.

Terlebih, rasanya ini mungkin akan melibatkanku. Lagi pula, dia adalah aku.

Menggunakan alasan samar ini untuk meyakinkan diri, kuputuskan untuk meminta bantuan pada gadis nomor dua yang paling dekat denganku.


*****


"... eh, kamu tadi bilang apa?"

"Begini, bisa beri tahu apakah aku bertingkah aneh belakangan ini?"

Orang itu adalah adik perempuanku, Yukiko Sakamoto.

Entah dia menjadi terlihat lebih menarik karena kini dia seorang murid SMP, atau karena Hikari Yumesaki memberinya tips dalam bergaya, apa pun itu, kusadari kalau tata rambut dan busananya lebih dewasa dari sebelumnya. Meski begitu, rasanya itu bukan masalah besar untuk ukuran murid SMP.

"Tentang itu, yah ..., kupikir kamu lebih manis dari sebelumnya ..., dan ... bersama, kita .... Tapi, saudara kandung berbuat begitu .... Uuugh ...."

"Hah?"

Gadis yang potongan rambutnya berubah dari berponi menjadi lurus pendek ini, terlihat sangat gelisah, tergagap saat bicara.

Rasanya ada sedikit kesalahpahaman di sini, tapi bukan itu yang kutanyakan.

"Apa ada semacam perubahan yang cukup jelas, begitu? Misalnya, segala yang kulakukan kini berbeda dari sebelumnya?"

"... pertanyaanmu aneh, tetap saja aku tidak bisa memikirkan detailnya."

"Begitukah ...?"

Jika ada kejadian yang dia ingin sembunyikan dariku, gadis itu jelas punya sesuatu untuk menyangkalnya. Cih, sepertinya aku menemui jalan buntu, ya?

Namun saat kami berada dalam satu tubuh di situasi seaneh ini, kupikir dia tidak akan bisa terus menyembunyikannya.

Sepertinya aku tidak punya pilihan lain. Sebaiknya aku mencari tahu sendiri.

"Terima kasih, Yukiko. Maaf karena bertanya yang aneh-aneh. Lupakan saja yang tadi kukatakan, oke?"

"Hah?"

Aku berpaling dari adikku yang curiga, lalu beranjak pergi ke kamarku.

Akan tetapi, sebuah ucapan tidak terduga terdengar dari belakangku.

"Omong-omong, lelaki yang tempo hari itu siapa? Kalian berdua tampak cukup akrab."

"Hmm?"

Aku baru saja mendengar sesuatu yang membuatku merinding.

Tunggu, bukankah itu ....

"Eh, eng, yang pas kapan? Kira-kira orangnya seperti apa?"

Aku berusaha menggunakan kata-kata yang mudah dicerna sewaktu menoleh padanya, berusaha keras supaya terlihat apa adanya. Aku sudah terbiasa dengan tindakan ini, namun pernyataan mengejutkan darinya itu membuatku tersentak.

"Kapan, ya? Yang kulihat saat itu adalah kamu sedang mengobrol di kafe dengan murid sekolah lain. Seingatku itu adalah seragam SMA Taki. Benar, tidak?"

SMA Taki. Maskudnya itu SMA Takiou?

Aku tidak pernah punya urusan dengan SMA swasta itu, yang kutahu kalau itu—

"Kupikir hal yang langka kamu keluar bersama teman, Kak. Apa lelaki tampan dan pandai berbicara itu kenalanmu saat SMP?"

Jleb, slup, zuup, crep.

Hati pemuda ini serasa ditikam oleh jarum, tombak dan lembing tidak kasat mata.

Dan gara-gara itu, jantungku kini berdesing layaknya senapan mesin.

"... ah, omong-omong, rasanya aku memang bertemu dia minggu lalu. Biar kupikir lagi, kafe yang mana, ya?"

Aku meraba-raba dalam keraguan dan kebingungan, mencoba mendengarkan sembari mengorek informasi.

"Masa kamu lupa pergi ke kafe mana? Sebodoh apa kamu ini? Nama kafenya itu 'Bintang Antartika'. Kafe yang dikenal sebagai tempat orang pacaran."

Paca—

"... bercanda, ya ...."

"Kakak?"

"... Yukiko, kamu sudah besar sekarang."

"Eh?"

"Kakakmu ini sangat bahagia karena bisa melihatmu tumbuh sebesar ini."

"Ka-kamu ini kenapa? Ma-mau mati, ya? Dasar bodoh ...."

"Ya .... Rasanya sudah seperti sekarat ...."

Meninggalkan ucapan tersebut, aku pun kembali ke kamarku tanpa menoleh ke belakang.

Merasa kebingungan dan dikhianati, pikiranku kini sedang berkecamuk, mencari penjelasan.

Ada apa dengan perasaan resah ini ....

"Omong-omong, bagaimana Yukiko bisa tahu keberadaanku saat itu?"

Aku membenamkan kepalaku di ranjang, tanpa bersuara meneteskan air mata beberapa menit.

Setelah sedikit tenang, aku mulai menanyakan itu.

Tapi kurasa itu tidak penting sekarang. Ada masalah yang lebih penting.

Sekarang, aku sedang melihat halaman utama jejaring 'Bintang Antartika' dengan mata berkaca-kaca.

Berdasarkan yang kulihat pada halaman resminya, itu adalah kafe dengan suasana bergaya. Setelah itu, kuperiksa 'pengunjung blog kafe ini' dan menemukan komentar seperti,

[Aku datang ke kafe ini sepulangnya dari bioskop bareng pacarku, kafe yang sangat bagus!]

Lalu,

[Lagu latar yang diputar di kafe ini rasanya menenangkan sekali, pacarku juga senang.]

Kubaca semua komentar tersebut dengan suara serak. Apa-apaan ini, ucapan pembuat iri?

"Seragam SMA Takiou ...."

Aku teringat sebuah laporan pada buletin berita saat itu.

[SEORANG MURID SMA TAKIOU DITEMUKAN TEWAS DALAM SEBUAH KECELAKAAN!]

Itu adalah tajuk kolom berita kematian Hikari Yumesaki.

Dan yang Hikari Yumesaki temui itu adalah lelaki bereragam SMA Takiou.

SMA Takiuo, lelaki, kafe untuk orang pacaran, menawan, tampan, tampan.

'Bagiku, kamu ada di peringkat dua dalam hal meluluhkan hati, Sakamoto!'

Sebuah kalimat dari ingatanku yang sebelumnya muncul kembali di pikiranku.

Peringkat dua, kedua, cadangan, kandidat kedua, nomor dua, wuaaah.

"Sekarang aku mengerti. Akhirnya aku mengerti ...."

Biar bagaimanapun dia tetaplah anak SMA.

Mungkin hal itu sebenarnya cukup normal.

Ah sial .... Ini bercanda, ya ...?

Kurasa bukan hal bagus untuk menjadikan diriku sebagai orang ketiga. Iya, 'kan?

Tapi hal ini bisa dia ceritakan padaku lebih dulu, 'kan? Rasanya aku terlalu terobsesi akan suatu hal.

Aku tidak bisa mencegah pikiranku menjadi semakin liar.

Aku sungguh ingin menyelidiki lelaki itu, tapi tidak mungkin aku memeriksanya hanya karena tahu kalau dia tampan dan menawan. Rasanya juga aneh kalau aku menanyakannya pada adikku.

Argh, apa aku tidak punya jalan keluar untuk masalah ini?

Tapi meski berkata begitu, aku terus memikirkannya dan membaca isi 'blog' itu, kemarahan menyelimuti diriku. Lalu, aku sampai pada sebuah 'blog' yang sangat aneh.

"Hm? Apa ini?"

Blog dengan fon imut, ikon berupa pasangan, dan suasana seperti di dalam dongeng.

Yang seperti tadi memang masih dianggap biasa.

[Catatan Harian Observasi Kakaknya Yukirin?]

Tapi judul 'blog'-nya seperti itu.

Kenapa firasatku buruk soal ini? Semesum apa orang yang membuka blog ini?

Meski masih penasaran, aku memilih untuk membuka salah satu catatan dengan santainya, lalu lanjut membaca beberapa bagian yang kuanggap menarik.

Isi yang tertulis di sana,

[Kakaknya Yukirin bertingkah sangat aneh! Apa karena dia sangat menyukai Yukirin hingga jadi seperti itu?]

[Kakaknya Yukirin menanyakan soal pendapat Yukirin tentang dirinya! Ada apa ini?]

[Kakaknya Yukirin memeluk Yukirin erat-erat! Ba-bau aroma tubuh kakak!]

[Yukirin mandi bersama kakaknya Yukirin dengan baju renang! Dan dia juga mengusap punggung Yukirin! Kyaa!]

Kurasa dua bersaudara ini terlalu menjijikkan .... Bukankah ini artinya mereka sama-sama 'brocon' dan 'siscon'? Ya, Tuhan, seperti apa didikan orang tua mereka ini?

Merasa penasaran, kutelusuri isi lainnya dari 'blog' ini dan menemukan sesuatu yang lebih buruk.

[Kakaknya Yukirin mencuri bra Yukirin. Yukirin sebenarnya berharap kalau dia akan menggunakannya untuk 'hal itu', tapi dia malah mengenakannya sendiri. Ada apa ini ...?]

[Yukirin terbangun dan melihat kakak sudah tidur di samping Yukirin dengan hanya memakai celana dalam saja! Yukirin spontan buru-buru mengusirnya, tapi tampaknya Yukirin sudah berlebihan .... Apa itu tidak masalah?]

[Yukirin dicium kakak .... Yukirin mau mati ....]

Ya, Tuhan. Saudara kandung yang mengerikan.

Serius, ada apa dengan orang tua mereka ....

[Apa ada pertanyaan tentang Yukirin, yang akan di-NTR oleh kakaknya sendiri ini?]

[(Sekilas Info Menggemparkan) — Kakaknya Yukirin berada satu ruangan dengan gadis berkepang, dan terdengar suara mesum dari dalam ruangan itu.]

[(Kakak murahan) — Kakak. Berduaan. Seorang gadis. 4 jam. Suara mesum. Adik menggila — (kirim pesan).]

....

[Kakak mendapat pernyataan cinta. Tidak apa-apa. Kakak tidak akan meninggalkan Yukirin sendiri. Itu pasti.]

[Kakak galau! Kakak dicampakkan! Sangat memalukan! Hore! Wkwkwk!]

[Kakak mengirim pesan 'minta dihibur'! Ah, Yukirin langsung menolaknya, tapi ini kesempatan untuk menjadi pengarang dewasa .... Ahhh .... Dasar Yukirin bodoh!]

"... fiuh "

Membaca sampai di titik ini, tanpa sadar aku menghela napas panjang.

Lalu, aku berteriak,

"Yukiiikooooooooooooooo?!"

Tung-tung-tunggu .... Eh?!

"Tidak ..., tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak!"

Tunggu, tunggu, tunggu! Ini pasti bercanda, 'kan?!"

Tidak, ini akan jadi masalah kalau bukan candaan! Tapi pada tulisan berikutnya ....

[Jangan, Kakak .... Yukirin dan Kakak adalah saudara kandung ....]

... apa yang sudah dia lakukan?

"A-apa yang si bodoh itu lakukan ...?"

Aku sungguh tak bisa berkata apa-apa. Kenapa dia menulis hal semacam itu di 'blog'?

Meski begitu, jika melihat tabiat dan peristiwa yang sudah terjadi, sudah pasti ....

"Tidak, tidak. jangan pikirkan itu .... Jangan sampai berpikir seperti itu ...."

Aku hampir berhasil mengembalikan kesadaranku yang sempat melayang entah ke mana, lalu lanjut membaca dengan terengah-engah.

Tidak ada kejadian penting di sini.

Jika ini memang 'blog' adikku, pasti ada petunjuk di sini—

[Kakak sedang meminum kopi dengan lelaki tampan yang tidak dikenal! Ini dia! Sesuatu yang tidak bisa di jelaskan sedang bangkit! Ternyata ada gunanya juga menjadi penguntit!]

Bagus! Ada petunjuk! Yukiko, ternyata kelakuannya seperti ini, ya? Yah, terserahlah!

Lalu kelanjutannya?

[Yukirin tidak menyangka kalau kakak punya selera yang bagus! Dia memanggil lelaki tampan itu 'Kazeshiro'. Bagaimana menurut kalian?! Iya, 'kan?]

Dan di bawahnya dilampirkan foto dua orang dengan sensor pada matanya.

Aku tidak bisa bilang kalau ini sudah kelewatan, tapi salah satu orang yang duduk di sana memang diriku. Sosok tubuh dan gaya rambut sama sepertiku, dan yang duduk menghadapku sambil meminum kopi itu ...,

"Jadi ini yang namanya 'Kazeshiro'?"

Matanya disensor, jadi aku tidak bisa melihat wajahnya secara utuh, tapi dengan samar bisa kukatakan kalau lelaki tersebut memang tampan.

... lelaki ini.

"Sial."

Aku mendadak hilang kendali dan langsung mematikan komputerku, duduk di atas meja sambil menundukkan kepala.

Apa aku perlu menulis di buku catatan, 'Kazeshiro itu siapa?'

Tapi jika aku bertanya, dia akan balik menanyakan bagaimana aku mengetahuinya.

"Ternyata aku tidak bisa lebih dari ini, ya ...?"

Dan pada akhirnya, aku tidak menulis apa pun soal ini. Hanya menulis seperti biasanya dan terasa membosankan.

Kupikir aku harus menyerah. Jika gadis itu tidak pernah memberitahu apa pun mengenai ini, itu artinya dia tidak mau aku terlibat. Tidak peduli seberapa dekat aku dengannya, hati kami tidak benar-benar menyatu.

Itu karena gadis tersebut memilih untuk menyembunyikan soal ini.


*****


"Ini jelas bukan hal yang bagus."

Hari jum'at, pukul 3.30 sore.

Kugumamkan itu sambil berdiri di depan SMA Takiou.

Ya, akhirnya aku datang sendiri ke sini.

Hal pertama yang kubingungkan, kenapa cuaca sangat tidak bersahabat?

Rasanya di sekitarku ini sedang murung, awan kelabu atau apa pun itu, menghalangi daya pandangku.

Hawa yang lembab ini terasa seperti sedang hujan. Sama dengan yang kini kurasakan.

Bukan hanya aku yang terganggu di sini. Para murid yang berseragam juga merasakan hal sama, tampak sangat lesu. Sewaktu mereka keluar dari gerbang dan melihatku, mereka langsung menyingkir— ah, sudah lama aku tidak diperlakukan begini. Aku masih teringat tentang murid-murid yang menjauhiku, mereka membungkukkan punggungnya ketika pulang sekolah.

"Kurasa ini bisa membuatnya marah."

Aku berusaha keras untuk mencari alasan, tapi tetap tidak bisa menemukannya. Lagi pula, ini hanya perasaan cemburu.

Sejak hari itu, berkali-kali kucoba meyakinkan diri untuk menyerah, tapi aku masih tidak bisa melakukannya. Yang kusadari kini, ini bukanlah hal bagus untuk dilakukan.

Dan akhirnya, aku jadi begitu ingin melihat wajah lelaki itu. 'Terserahlah,' pikirku. Tindakanku ini sungguh tidak keren sama sekali. Aku serius.

"Dia Kazeshiro, 'kan?"

Gumamku sambil menatap foto yang ada di ponsel, yang kusalin dari blog adikku.

Apa yang seharusnya kulakukan setelah bertemu dengannya?

'Apa hubunganmu dengan Hikari Yumesaki?'

Aku mungkin akan menanyakan itu tapi, jika itu terjadi,

'Kami berdua pacaran~'

Jika dia menjawab seperti itu, harus seperti apa aku menanggapinya? kurasa akan lebih baik kalau aku menghajarnya hingga babak belur, tapi apa aku sanggup berbuat sememalukan itu? Jawabannya tidak, aku tidak seberani itu. Aku mungkin malah berusaha tersenyum bodoh, sambil bilang, "Be-begitu, ya?" lalu berlari pulang ke rumah dan melampiaskan frustasiku pada bantal.

"Tidak, aku tidak bisa melakukannya."

Aku sudah berada di sini dan masih tidak percaya diri. Aduh, ini gawat. Ini terlalu menyedihkan. Harus apa aku sekarang?

Apa aku pulang saja? Setelah semua ini, haruskah aku pulang saja?

Sekarang masih belum terlambat untuk pulang, 'kan?

Ya, benar, kurasa aku harus pulang—

"—Sakamoto?"

"Haaaaaaaaa?!"

Bahuku tiba-tiba dipukul, kupikir aku akan mati.

Sambil merasa ketakutan, aku menoleh kebelakang .... Ah, si lelaki tampan?

"Sedang apa kamu di sini? Orang-orang jadi ketakutan gara-gara kamu."

"Eh, ah, oh, oh."

Dasar bodoh. Jangan tiba-tiba menyapaku! Apa dia sekasar ini karena predikatnya sebagai lelaki tampan? Ternyata semua lelaki tampan memang punya perangai buruk. Iya, 'kan?

"I-iya, kebetulan sekali."

Kutanggapi lelaki yang baru menyapaku tadi seolah sudah akrab, lalu mengamatinya.

Perawakannya kurus, namun tampak sedikit kokoh, dan dia mungkin sedikit lebih pendek dariku. Rambutnya rapi serasa sudah bawaannya, dan wajahnya yang tampan itu memancarkan aura menyegarkan. Tangannya yang memanggul tas di punggungnya itu amat putih, mirip seperti seorang gadis. Biarpun begitu, urat nadi pada lengannya itu membuatnya terlihat kurang sehat.

Kurasa itu dia. Persis seperti yang kulihat di foto.

Jadi ini yang namanya Kazeshiro.

"Apa kamu sedang menungguku?"

"Yah, begitulah."

Lalu, hubungan seperti apa antara aku dengan lelaki ini? Rasanya canggung jika meneruskan ini tanpa mengetahui apa-apa. Apa aku mesti bilang, "Aku kangen sekali sama kamu *mmuach*," padanya? Lalu kalau dia menjawab "Aku juga, *mmuach*," kupikir aku pasti akan mati.

"Mumpung kamu di sini, Sakamoto, ayo cari tempat buat mengobrol. Kafe yang 'itu' juga tidak apa-apa, 'kan?"

"Ah, hmm, boleh."

Tanggapku dengan jawaban sesingkat mungkin, dan setidaknya berhasil membuat kontak tanpa membuat curiga.

Sekarang waktunya ke persoalan utama.


*****


Langit sepenuhnya berawan. Kazeshiro membawaku ke kafe 'Bintang Antartika'. Aku sudah sempat meneliti kafe ini, dan sedikit mengerti tentang tempatnya, tapi setelah melihatnya sendiri, ternyata kafe ini memang sangat begaya. Sungguh bukan tempat yang akan dikunjungi lelaki seorang diri. Dengan kata lain, artinya 'itu', 'kan? Itu? Memangnya 'itu' apa? 

Saat ini sore di hari Sabtu, tapi tempatnya masih penuh. Beberapa saat setelah lelaki itu menulis nama 'Kazeshiro' di daftar tunggu, pelayan toko pun memanggil kami untuk duduk. Aku tidak terbiasa dengan tempat semacam ini, jadi aku hanya bisa berpura-pura tenang dan duduk.

Samar-samar kulihat penyaring kopi antik dan bar anggur menawan jauh di dalam gerai. Berbagai jenis simbol rasi bintang menempel di sekeliling kafe, dan dilihat dari dekat, ada sebuah globe besar menggantung pada langit-langit.

Kupandangi teleskop tua yang mirip dengan yang digunakan Galileo di dekat pintu masuk. Dan seketika itu,

"Omong-omong, pesan saja dulu."

Kudengar Kazehiro mengucapkan sesuatu yang cukup bijak. Sebuah buku menu diantarkan padaku, namun semua istilah di dalamnya berbahaya untuk dipahami. Baiklah, akan kupesan apa saja yang aku mau.

Alunan dari kotak musik yang tersendirikan itu terus menggema ke seluruh kafe, dan ketika pelayan perlahan mendekatiku, aku menunjuk opsi teratas pada menu. Berbeda denganku, Kazehiro dengan santai membaca aksara horizontal itu dengan cukup sensual. Sial, lelaki ini memang keren. Aku tidak bisa seperti itu.

Pikiran tersebut ikut pergi bersama pelayan yang telah meninggalkan kami, dan kini ada sedikit keleluasaan. Sekarang waktunya untuk pertunjukkan sebenarnya.

Apa lelaki ini dulu pernah berpacaran dengan Hikari Yumesaki?  Jika pernah, bagaimana statusnya sekarang? Kurasa gadis itu tidak akan berani mengungkap siapa dirinya saat ini, dan kurasa gadis itu juga tidak akan mencoba berhubungan dengan orang lain menggunakan tubuhku. Tapi ada kemungkinan kalau lelaki ini ternyata homo—

"Kazeshiro."

Lalu,

"Ada apa?"

Aku pun bertanya,

"Apa kamu punya pacar?"

"Itu pertanyaan yang tidak kuduga. Yah, sementara ini tidak ada. Memangnya kenapa?"

'Sementara ini'?

Kenapa ada penekanan di situ? Jangan memberi jawaban yang samar!

"Be-begitukah? Sementara ini tidak ada?"

"Ya. Aku tidak tertarik untuk pacaran."

Sial. Jadi apa jawabannya? Bisakah lebih spesifik?

Aku berusaha mencari celah, berusaha untuk melihat apa aku bisa menanyakan hal selain ini, tapi tampaknya Kazehiro menganggap topik itu sudah selesai sewaktu dia mengutak-utik formulir kuesioner yang ada di atas meja, dan aku tidak bisa mendapat kepastian mengenai jawaban samar tadi. Sial.

Tapi tidak masalah, sepertinya keraguanku mengenai dirinya telah hilang.

Dan ketika aku menggumamkan hal itu.

"—Hm?"

Kazeshiro begitu saja membuka pembicaraan sembari mengangkat kepalanya. Hmm? Sekarang apa?

"... sebentar. Kenapa kamu sekarang tampak lega?"

"Eh? Ah, aku hanya sedikit penasaran, tidak lebih."

"Hah, penasaran? Bercanda, ya?"

"Eh? Ke-kenapa kamu malah kaget?"

"Soalnya yang namanya lela— ya-yah, bukan apa-apa."

Kazeshiro sedikit bergumam, lalu menyeruput kopinya dengan tampang pahit. Ada apa dengannya? Dia jadi tampak galau.

"Hei, ada apa? Apa aku ada salah bicara, Kazeshiro?"

"Oh, tidak, jangan terlalu dipikirkan. Aku hanya teringat masa lalu. Dulu ada orang yang sering berkata seperti ini, 'Kazeshiro punya wajah untuk tipe semacam itu'."

Hmm?

"Apa maksudnya 'tipe semacam itu'?"

"Kamu tahu, lah. Yah, di antara lelaki .... Ada kenalanku yang bilang kalau tampangku ini populer di kalangan kaum adam. Yang kami bahas adalah tipe semacam itu."

Mata dalamnya samar terlihat dari balik rambut hitamnya selagi Kazeshiro ragu-ragu menggumamkan itu. Yah ..., aku bisa mengerti kenapa dia dianggap begitu. Soalnya barusan aku juga sempat curiga seperti itu.

"Sial. Tidak akan ada yang mengataiku seperti itu kalau saja aku mirip dengan ayahku. Sakamoto, apa kamu persis seperti ayahmu?"

"Tidak juga. Ayahku biasa-biasa saja, pendek, pekerja kantoran. Tapi aku tetap orang besar yang tidak berguna."

Jawabku sembari menambahkan gula ke dalam kopi, dan Kazeshiro kini tampak bingung.

"Eh? Bukankah tempo hari kamu bilang kalau ayahmu itu pemain rugbi berotot?"

Astaga! Si bodoh itu! Hentikan!

"Ah, tidak, itu ayahku yang lain."

"Yang lain .... Ah."

Jawaban mengada-ada ini terdengar seperti datang dari surga.

"... maaf, seharusnya aku tidak menanyakan tentang ini. Aku minta maaf."

Tidak perlu khawatir soal itu, Kazeshiro.

"Hahaha ... haha ...."

Aku berhasil menenangkan suasana dengan sebuah tawa, tapi aku merasa lebih suram dari sebelumnya. Omong-omong, aku masih tidak tahu siapa lelaki ini, aku tidak tahu tentang hubungannya dengan Hikari Yumesaki, aku pun tidak tahu ada hubungan apa dia denganku, dan ini membuatnya begitu sulit dihadapi. Bagaimana sebaiknya caraku untuk lanjut menyerang?

Karena gelisah, obrolanku dengannya sudah seperti kuis di TV. Aku takut dia mengetahui niatku yang sebenarnya.

"... baiklah."

Baru saja aku hendak ingin memaki diriku sendiri dalam hati, Kazeshiro menggaruk-garuk daftar menu, lalu bersuara dengan cukup jelas,

"Kamu sudah repot-repot mendatangi sekolahku, apa kamu sebegitunya ingin tahu, Sakamoto?"

... ah, bukankah justru dia yang berkata aneh?

Ini sebuah kesempatan yang tidak disangka. Dan sebaiknya aku menjawab—

"—ah, tentu saja."

Apa pun itu, mari dengarkan yang mau dia katakan.

Tentu saja aku tidak punya rencana. Mulai dari sini, akan kubiarkan topik ini terus berlanjut dengan sendirinya.

"Biasanya aku tidak akan memedulikan pelecehan semacam itu, tapi kamu adalah orang yang pernah menyelamatkanku dari pemabuk, Sakamoto. Itu sebabnya aku jadi dilema."

Rupanya aku pernah menyelamatkan dirinya.

"Apa kamu masih melakukan hal itu? Sexy Dream."

... kurasa masih.

"Tidak, yah, saat itu aku lagi senggang saja."

"Aku sungguh iri padamu, bisa begitu cuek saat menolong seseorang."

Wajah Kazeshiro yang menggerutu itu tampak gelisah dan kesusahan.

Sial, apa gadis itu jatuh cinta pada wajah ini?

"Tapi kenapa kamu penasaran sekali soal itu? A—aku tidak mengerti alasan kenapa kamu tertarik tentang balas dendamku."

"—hah?"

Terlepas dari kecerobohanku, kata-kata mencolok itu masuk tepat ke dalam telingaku.

Balas dendam? Apa dia baru saja mengatakan itu?

Tunggu, tunggu, kenapa aku merasa kalau ini berlanjut ke arah berbahaya—

"Ah, tidak, soal itu ..., aku penasaran kenapa kamu ingin balas dendam ...."

Aku menatap matanya, berbicara seakan berusaha mengejar inti pembicarannya.

Hei, tunggu, topiknya kini berlanjut dalam pembahasan yang lebih berbahaya dari perkiraanku.

Ada apa ini ...?

"Kurasa hal yang buruk karena tidak bisa menjaga ucapanku. Itu karena tanpa sadar aku keceplosan berkata kalau kamu sudah melecehkanku. Sejak hari itu, kamu selalu mengajakku bicara. Apa kamu memang sepeduli itu?"

Kazeshiro lalu menatap kopi hitamnya dan sembari meminta kejelasan dariku dengan suara gamang.

Aku ingin berkata kalau aku tidak akan melecehkannya.

Namun aku tidak bisa mengatakannya.

Gadis itulah yang melecehkannya, jadi dengan kata lain, dialah yang harus mengatkannya.

"Aku belum begitu lama mengenalmu, tapi aku tahu kamu bukanlah orang jahat. Meski begitu, dengan tegas kukatakan ini padamu. Maaf, menyerah sajalah."

Balas dendam. Orang jahat. Tegas. Aku kehabisan kata-kata terhadap istilah yang jarang kudengar ini.

"...."

Kazeshiro menatap diriku yang terdiam itu dengan beragam emosi, lalu lanjut meminum kopinya.

Pada akhirnya, aku tidak mendapatkan informasi lebih dari ini. Setelahnya, kami mulai berbicara tentang topik yang kaku, berusaha melewatkan obrolan berat tadi seiring waktu yang terus berlalu.

Aku bisa mengobrol lancar dengan lelaki ini lebih dari yang kukira. Dia pandai mendengarkan, dan lumayan berwawasan. Dia juga memiliki selera humor yang bagus, dan rupanya, kusadari sebuah kenyataan tragis bahwa sebagai lelaki, aku sepenuhnya kalah olehnya. Sial, tidak heran kalau Hikari Yumesaki bisa suka padanya. Haa ....

Tampaknya ada sesuatu yang tidak biasa dengan ucapanku, hingga dia berkomentar,

"Sakamoto, banyak yang aneh dari dirimu."

Sikap murah hati itu juga salah satu faktor yang membuatnya disukai, ya?

Sial.


*****


-

    Ketika sedang menjadi Sexy Dream, kebetulan aku bertemu teman SMA-ku. Yah, itu sekitar sebulan yang lalu. Aku ingin tahu bagaimana kabarnya, karena itu aku beberapa kali bermain dengannya. Maaf karena menyembunyikannya darimu. Kazeshiro mungkin mengatakan beberapa hal aneh, tapi tolong jangan cemaskan itu. Dia sedikit rentan terhadap kesalahpahaman.

-

"Meski dia bilang begitu, mana mungkin aku tidak memerhatikannya. Iya, 'kan?"

Aku bertemu Kazeshiro dua hari yang lalu.

Aku tahu kalau perasaan menyedihkan ini lahir dari rasa cemburu, itu sebabnya aku ragu apakah pantas menuliskan kejadian ini di buku catatan. Biarpun begitu, aku rasa dia akan tahu dengan sendirinya, karena itulah kutulis semuanya dengan apa adanya.

Dan yang barusan itu adalah jawaban dari Hikari Yumesaki.

Namun aku masih tidak bisa menerima penjelasan seperti itu.

Gadis itu tidak sengaja menyelamatkan Kazeshiro sewaktu beraksi menjadi Sexy Dream. Dia peduli kepadanya, dan bertemu beberapa kali menemui Kazeshiro tanpa sepengetahuanku. Namun saat itu kazeshiro keceplosan menyebut kata 'balas dendam', dan Hikari Yumesaki, yang mungkin sedikit paham soal itu, penasaran ingin tahu lebih jauh .... Kemungkinan seperti itu.

Dilihat dari sisi mana pun, catatan harian ini intinya menegaskan, 'Jangan ikut campur mengenai ini'. Bahkan di akhir catatan dia menulis,

-

    Pokoknya, jangan khawatir soal Kazeshiro. Aku baik-baik saja.

-

"Baik-baik saja, ya ...?"

Jika ini salah satu dialog dalam 'manga' cowok, setidaknya aku akan menjawab dengan keren, 'Oke, aku percaya padamu ...,' akan tetapi, kenyataan seperti nampan yang dipenuhi oleh beragam keburukan, dan diriku yang pengecut ini tidak punya nyali untuk sungguh-sungguh mengatakan itu.

"Sepertinya masalah ini menjadi lebih buruk dari yang kubayangkan, ya?"

Kurasa Kazeshiro mungkin saja mantan pacarnya Hikari Yumesaki. Meski aku punya kekhawatiran semacam itu, menurutku ini tidak sesederhana itu. Tidak, tentu saja aku penasaran dengan kebenaran di balik semua ini.

Masalahnya adalah mengenai istilah itu.

Tanpa tahu soal 'balas dendam', Hikari Yumesaki sedang berusaha keras menyelidikinya, tidak mungkin kami membicarakan tentang cara menyelesaikan ini.

Dan aku tidak tahu apa ini berhubungan dengan Hikari Yumesaki. Ada kemungkinan kalau masalah ini tidak saling berkaitan.

Akan tetapi, Kazeshiro tidak akan mau menceritakannya.

Tidak peduli seberapa banyak Kazeshiro mengekspresikan dirinya, yang ada aku justru kewalahan dengan rasa ingin tahuku. Namun aku akan sangat kerepotan jika gadis itu serius soal ini. Dia dan aku satu kesatuan. Bahkan terlepas dari itu, aku ingin agar dia sejauh mungkin menghindari hal buruk. Aku tidak bisa membiarkan dia seperti ini meski perasaanku sendiri tidak berbalas.

"Balas dendam, ya?"

Kukeluarkan sebuah seragam SMP yang dibuang di sudut lemariku.

Baju itu adalah mantan rekan yang entah kenapa sudah kuabaikan.

Kuambil buku saku murid yang tersembunyi dalam kantong, lalu membukanya. suara gemerisik kertas menggema di telingaku.

Itu adalah buku saku murid milik Hikari Yumesaki.

Ini adalah bukti bahwa dia pernah hidup, dan bukti kalau dia sudah mati.

Gadis itu tewas dalam sebuah kecelakaan.

Berdasarkan informasi yang didapat dari sopir dan para saksi mata, polisi menduga kecelakaan ini akibat kecerobohan sang korban. Dia berjalan di penyeberangan tanpa melihat kanan-kiri, dan akhirnya berujung pada sebuah kecelakaan.

"Kazeshiro ..., apa yang sebenarnya ada di pikiranmu?"


*****


Karena kejadian tempo hari, dua hari berikutnya pun terasa suram.

Dengan sungguh-sungguh kubuka catatan harian itu, dan langsung membuatku hancur.

-

    Aku menemukan beberapa foto mesum yang kamu senangi! Bukalah laci meja kedua dari bawah! Lalu tulislah sebuah perenungan! (di kertas ukuran 42x34, tulis 15 sampai 30 lembar)

-

"Apa aku disuruh membuat cerpen?"

Harapanku sirna saat menarik laci dan hanya menemukan sebuah ilustrasi disertai kalimat,

-

    Kamu sungguh mengira ada foto mesum, ya? Sayang sekali! Itu gambar Hikari — dalam versi 'mau pergi bareng?'

-

Sebuah ilustrasi aneh dari gadis cantik berambut hitam sedang duduk di bangku, memakai baju basterop yang salah satu bretelnya tidak dikaitkan, hingga menyingkapkan belahan dadanya. Meski begitu, ilustrasi ini tampak tidak asing bagiku. Aku sempat mengira kalau dia akan menggambar 'manga' tentang romansa antarlelaki. Dia memang suka dengan hal semacam itu, 'kan?

Lagi pula, itu akan menjadi hal yang sia-sia karena gambarnya sendiri punya kualitas bagus.

"Astaga, dia selalu saja melakukan hal yang bodoh."

Namun di saat yang sama, aku pun merasa lega.

Sebuah hal yang bagus jika dia tidak menjadi murung dan terlalu memasukkannya ke dalam hati.

Belakangan ini dia tampak sangat aneh, makanya aku jadi khawatir. Biarpun begitu, dia pasti punya masa ketika dia tidak senang hati, dan jika seperti ini, kurasa masih baik-baik saja.

"Jangan terlalu membuatku khawatir. Karena kamulah yang selalu saja melakukan hal-hal bodoh."

Aku bergumam sendiri, kemudian bersiap untuk pergi ke sekolah.

Biar bagaimanapun, aku ini seorang yang naif.

Tidak, kurasa aku sudah tahu tentang ini, dia hanya mencoba bersikap tegar. Dia berbuat seperti itu semata karena peduli denganku.

Namun aku justru ingin memalingkan diri dan kabur dari hal itu, meski aku sendiri tahu kalau ini adalah sesuatu yang akan kusesali nantinya.

Malam ini, kusadari betapa bodohnya aku karena memikirkan hal tersebut. Dia memang suka dengan hal semacam ini.


*****


"Hm?"

Malam hari. Di pertengahan malam yang biasanya kulalui.

Aku tidur di kamar dengan lampu remang-remang yang menyala — tidur dalam keadaan gelap gulita adalah hal yang Hikari Yumesaki benci dan hindari. Saat itu, ada seseorang yang menyelinap ke kamarku tanpa izin, dan itu membuatku terbangun.

"Eh ..., siapa itu?"

"Hah, wuah!"

Seketika aku membuka selimut, kulihat sebuah sosok menggeliat dalam remangnya kamar.

Dan identitas sosok tersebut membuatku terkejut.

"Yukiko ...?"

"... ah, biar kujelaskan dulu ...."

Apa-apaan ini? Yang menyelinap ke kamarku ternyata adikku, Yukiko.

"Kamu sedang apa? Eh? Itu ...."

"Ah! Tidak! I-ini ...."

Pandanganku tertuju pada sesuatu yang dipegang oleh kedua tangan Yukiko itu.

Dalam kepanikannya, dia mencoba menyembunyikannya ke belakang. Yang benar saja, biar kulihat dulu, kenapa malah disembunyikan?

Aku menarik tangannya, dan sesuatu yang disembunyikannya itu ternyata—

"Eh? 'Tiket wisata mewah gratis, nikmati musim panas di Jepang sepuasnya! Ajak orang yang kamu sukai!' ... ini?"

"Ma-makanya, tadi kubilang ..., biar kujelaskan dulu ...."

Rupanya itu tiket wisata gratis.

Dan dilihat dari dekat, selain kata-kata, 'Ajak orang yang kamu sukai!' kulihat pula kalimat tambahan, 'Lebih bagus lagi jika mengajak adikmu juga!' hmm ....

"Apa kamu berencana memberikan ini padaku?"

"Eng ..., aku mau menyelipkannya tanpa sepengetahuanmu .... Su-sudahlah, terima dan syukuri saja! Cepat terima kasih padaku!"

Wajah Yukiko sedikit memerah sewaktu membusungkan dadanya dengan angkuh. Yah, aku memang bersyukur soal ini, tapi kenapa harus tiket wisata? Bukankah ini mahal?

A-aku jadi sedikit kepikiran.

"Ti-tidak perlu cemas. Ini bukanlah apa-apa asal kamu merasa baikan, Kak! Karena itu, karena itu ..., jangan murung lagi!"



"Murung?"

Tepat saat aku hendak bertanya soal murung tersebut? Aku langsung tersadar.

Aku paham maksud dari kata-kata itu.

"Ya ampun. Belakangan ini kamu telihat sangat gelisah, Kak. Sikapmu selalu tidak tenang jika di rumah. Nafsu makanmu menurun dan sering tidur larut malam. Terkadang, sambil memeluk lutut, kamu tampak seperti merenungi sesuatu. Aku tidak tahan melihatnya! Aku tidak tahu yang ada di pikiranmu, tapi bersemangatlah! Jika pergi berwisata, kamu pasti akan bisa melepas stresmu."

Ucap Yukiko dengan menggebu-gebu sambil mengepalkan kedua tangannya.

"...."

Dan aku tersadar betapa naifnya diriku

Kupikir aku sudah memahami Hikari Yumesaki lebih dari siapa pun.

Tapi aku tidak sanggup melihat dia yang memaksakan diri seperti ini.

Sebelum adikku bercerita soal ini, aku tidak tahu kalau selama ini dia memendam semua masalahnya sendiri.

Begitu. Tidak mungkin dia bisa baik-baik saja.

Dia berusaha bersikap kuat. Hanya berusaha terlihat kuat.

"... Yukiko."

Gumamku pada adikku yang terdiam dalam kegelapan,

"Kamu benar. Kemarin aku memang sempat merasa tertekan, dan diriku besok juga akan sama menderitanya."

Adikku terus menatapku dengan saksama.

"Diriku besok pasti akan terbangun dengan perasaan galau. Kini aku punya masalah yang sangat besar. Namun aku akan terus menderita. Terlalu banyak penderitaan untuk kupendam seorang diri."

"Kalau begitu, ceritakan saja semuanya besok. Kamu pasti bisa lebih baikan."

"Maaf, aku tidak bisa melakukannya. Diriku besok sudah memutuskan untuk berjuang sendiri."

"... tapi."

Sebuah suara pilu terdengar. Jangan memasang tampang begitu. Wajah itu tidak akan tampak manis lagi.

"Biarpun begitu, kurasa penderitaan ini terlalu besar untuk kulawan sendiri. Terlalu sering aku terbangun dengan perasaan suram ini. Itu sebabnya, Yukiko—"

Kutatap mata adikku, lalu berkata dengan yakin,

"Besok, ketika aku bangun, bisakah kamu ucapkan, 'Selamat pagi, aku sayang kakak,' padaku?

"—wuah?!"

.......

....

Kesunyian malam memenuhi seisi kamar.

Wajah adikku tidak menampakkan emosi apa pun layaknya sebuah patung, kemudian aku lanjut berkata,

"Kumohon. Diriku besok benar-benar menyayangimu. Jika kamu bisa membangunkanku, diriku besok pasti akan merasa bahagia."

"Ta-tapi—"

"Dan jika memungkinkan, bisakah kamu melakukan segalanya bersama dengan diriku besok? Baik saat makan, mandi ..., apapun itu, jangan biarkan aku sendirian."

"A—"

"Dan juga, tidurlah bersama dengan diriku besok. Mungkin saja kamu akan digoda, tapi di saat itulah aku akan menggantungkan harapanku padamu. Menggunakan payudaramu."

"—"

"Karena itulah, demi diriku besok .... Yukiko?"

Eh? Ada apa ini?

Wajah yang tadi mematung ini kian memerah. Eh, apa? Apa dia berevolusi?

"Ak-akhirnya ... datang juga ...."

"Eh?"

"Akhirnya masa-masa ini datang juga .... Aksi nekatku ini akhirnya berbuah manis .... Tanganku sanggup menggapai bulan! Apollo!"

A-Apollo?

"E-eng ..., apa aku bisa mengandalkanmu?"

"Tentu saja! Aku pasti akan bangun lebih awal dan mengucapkan selamat pagi padamu, Kak! Mungkin aku tidak akan tidur!"

Yukiko pun menyerahkan tiket wisata itu padaku dengan wajah senang, lalu menyeka liur di bibirnya sewaktu keluar kamar. Dia sebelumnya sempat marah kemudian kini tersenyum senang. Yah, terserahlah, ini bukanlah satu-satunya persoalan.

"Aku juga harus memperkirakan skenario terburuknya ...."

Aku memang tidak tahu apa yang sedang gadis itu resahkan, tapi aku juga tidak bisa membiarkannya sendirian seperti ini.

Dia kini sedang menderita, dan itu tidak diragukan lagi. aku tidak bisa begitu saja membiarkannya seperti ini. Aku harus tahu tentang Hikari Yumesaki.

Tapi apa yang kini kulakukan? Bagaimana cara supaya aku bisa memahami dirinya?

Aku tidak tahu apa pun tentang Hikari Yumesaki. Aku tidak tahu seperti apa rupanya, suaranya, warna kulitnya, warna rambutnya. Aku tidak tahu keluarganya, dan aku tidak tahu tentang teman-temannya. Yang aku tahu hanyalah Kazeshiro, dan fakta bahwa mereka bersekolah di SMA yang sama.

"Ah—"

Memikirkan tentang ini, mau tidak mau aku pun berseru,

"Mungkin—"

Ingatan di awal April mendadak terlintas di otakku.

Betul, itu dia.

Akhirnya kusadari ini, dan tepat di saat ini, aku akan melakukannya sendiri.

Aku tidak pernah berusaha mencari tahu tentang rahasia Hikari Yumesaki, dan kini, aku harus melibatkan diri ke dalamnya.

Aku tidak mau melakukan ini, tapi aku tidak punya pilihan lain.

"Tunggu aku, Hikari Yumesaki .... Kazeshiro."

Membulatkan tekad di hati, kutengadahkan kepalaku ke hangatnya langit malam.


*****


Dua hari kemudian, sepulang sekolah.

Seberkas cahaya bersinar menembus awan mendung, dan di bawahnya, aku tiba di kebun semangka.

Tempat di mana kehidupan dalam satu tubuh ini dimulai, dan sebelum kami saling bertukar catatan harian.

Dua kali berturut-turut aku terbangun di tempat ini, dan kupikir ini sangat aneh.

Orang itu pasti kemari karena sebuah alasan. Ini tempat dirinya mengungsi.

Dan inilah alasan kenapa dia tidak akan beranjak dari sini meski sampai larut malam.

"Maaf baru menyadarinya sekarang."

Kubuka buku saku murid yang kumal ini untuk memeriksa alamat. Ada sebidang tanah yang berlokasi di jalan kecil di antara sawah-sawah, dekat dengan SMA Takiou.

Tidak diragukan lagi. Di antara rumah-rumah kaca itu, bisa kulihat sebuah rumah kecil.

Ini adalah tempat di mana Hikari Yumesaki lahir dan tinggal.

Menggunakan tubuhku — yang terasa asing itu — dia berusaha meminta pertolongan keluarganya.

Dia mungkin ketakutan, gemetaran, menangis, berjuang seorang diri di dunia sepi ini.

Lagi pula, mental gadis ini tidaklah kuat, hanya terus berusaha menahan semuanya.

"Jika ada kesempatan, kesempatan untukku mengetahui lebih jauh tentang gadis itu ...."

Ayolah, libatkan diri saja—

Meski aku sudah memikirkan ini sebelumnya, ada sebuah masalah yang mengikuti.

Aku sudah terbangun dua kali di tempat ini.

Dengan kata lain, sesaat setelah kematiannya, gadis itu dua kali kemari menggunakan tubuhku.

"Apa dia melakukan kesalahan ...?"

Sepertinya begitu.

Saat itu, aku masih belum bisa menduga situasinya. Itu juga berbarengan sewaktu aku mengira memiliki kepribadian ganda, yang membuat diriku sempat putus asa.

Apa aku benar-benar ingin bertemu keluarganya?

Jika aku akhirnya bertemu, harus seperti apa aku menghadapi mereka? Bagaimanapun juga, kupikir ini bukanlah hal baik.

Gawat, apa yang kini sedang kulakukan? Pikiranku seketika buntu.

Omong-omong, aku sama sekali tidak tahu tentang keluarga gadis itu. Sedang apa aku ini ...?

"Ah"

"Hm?"

Sebuah suara terdengar di antara keheningan, dan aku langsung menolehkan pandanganku.

Tampak sesosok wanita yang cantik.

Mata serta rambutnya berwarna hitam, mungkin karena itulah kulitnya jadi terlihat begitu putih. Tubuh mungilnya tampak sedikit ramping, atau mungkin itu hanya anggapanku saja.

Sambil mendorong troli yang berisi belanjaan, wanita itu tampak seperti seorang ibu rumah tangga. Ja-jangan-jangan, dia ....

"Ah, eng, apa Ibu ini ibunya—"

Baru saja aku mau menyelesaikan pertanyaanku,

"Kyaaaaaaaaaaaaaahhhhhh!"

Teriak wanita itu.

Ah sial .... Apa aku sudah berbuat salah?

"Tung-tung, jangan salah paham! Eng, aku."

"Siapa saja, tolong! Anak melambai ini datang lagi—! Siapa saja, tolong—!"

Anak melambai? Sebutan macam apa itu?

Karena kebingungan, aku pun menyerah dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Lalu, para pria paruh baya yang melintas maupun yang ada di sekitar, berkumpul mengelilingi wanita sedang terkejut ini. Semua yang mengelilinginya itu pria paruh baya.

Kemudian mereka mencengkeram bahuku dengan kuat.

"Ah, tunggu dulu, tolong lepaskan dulu! Aku bukan orang aneh—"

"Rupanya kamu si anak melambai itu?"

"Berani-beraninya kamu menyerang Nyonya Hinako selagi masih berduka!"

"Bahkan saat itu kamu sampai berteriak, 'Tolong aku, Mama!' padahal kami tidak pernah berhutang padamu!"

"Betul, betul. Cara bicaramu juga sangat lancang!"

Aku ditanyai oleh bermacam orang karena alasan yang tidak kupahami. Nyonya itu sampai menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tampak sangat ketakutan. Argh, cukup!

"Dengar dulu! Biar bagaimanapun, soal ini harus kuberitahukan! Kesampingkan dulu kejadian tempo hari dan dengarkan aku bicara!"

Aku berusaha semampunya untuk berteriak, tapi para pria paruh baya itu terus menginterogasiku.

Dan mereka pun balas meneriakiku dengan jengkel, seperti, "Jangan main-main!" "Kami akan melindungi Nyonya Hinako!"

Sial. Baiklah, kalau begitu ....

"Aku mau bicara soal 'Hikari'! Tolonglah!"

Tidak sengaja kusebut nama gadis itu.

Dan aku pun menyesal setelahnya.

Suasana sekeliling langsung berubah seketika.

Kali ini tidak ada lagi yang geram padaku, yang ada hanya suasana yang suram.

Dan buktinya yaitu sebuah tinju melayang ke arahku dari tempat tidak terduga.

Itu sebuah tinju yang kuat. Jika bukan karena tubuhku yang besar ini, aku pasti langsung tidak sadarkan diri.

Di balik para pria paruh baya ini tampak sang nyonya — yang terlihat amat pucat — jatuh pingsan ke tanah. Gawat.

"Sudah cukup, bajingan ...."

"Apa kamu tahu menderitanya Nyonya Hinako, hah?!"

Amukan mereka terus tertuju padaku.

Aku tahu itu. Tentu saja aku tahu soal itu. Walaupun begitu, hanya dia yang bisa kumintai bantuan.

Aku tidak tahu apa pun tentang Hikari Yumesaki.

Aku sama sekali tidak bisa memahami dirinya. Sementara itu, keadaanku yang sekarang sungguh berbeda dengan ibunya. Yang bisa kulakukan hanyalah terkapar mencium tanah.

Kutelan liurku yang sudah bercampur pasir ini sambil merangkak di lantai.

Kurasa inilah yang disebut bersujud untuk memohon. Lalu, dengan seluruh kemampuanku, aku pun berteriak,

"Salah satu aturan Kediaman Yumesaki, (3) hanya bisa dilakukan setelah berumur 18 tahun!"

Ucapanku tadi membuat semua orang di sekitar tercengang.

'Bicara apa dia barusan?' kurasa itulah yang mereka pertanyakan.

Meski begitu, reaksi Nyonya Hinako berbeda dengan mereka, dan buktinya adalah tatapan aneh yang dia tujukan padaku itu.

"Tolong! Dengarkan penjelasanku dulu! Aku mohon!"


*****


"Permisi ...."

Terbebas dari para pria paruh baya yang mengerubungiku tadi, kulewati sebuah kebun semangka, lalu diajak masuk ke kediaman Yumesaki.

Mereka masih bersikap waspada terhadapku, tapi saat itu Nyonya Hinako tiba-tiba berteriak,

"Maaf, ini kesalahpahaman! Bukankah kamu temannya Hikari, ya, Tuan Wajah Seram? Ah, benar, ekspresi itu selalu saja tampak menakutkan~"

Dengan jawaban yang meragukan tersebut, aku pun dilepaskan. Lagi pula, berdasarkan ucapannya, dengan yakin bisa kukatakan, 'Ah, dia memang benar-benar ibunya Hikari Yumesaki,' kurasa gaya penamaannya pun tampak jelas pada anak perempuannya.

"Oh."

Kami sempat melewati jalan dengan dataran kering, dan selagi berjalan di atas lantai koridor tua yang berderit, kulihat ada seekor kucing. Kucing berwarna hitam. Mata abu-abunya menatap ke arahku. Omong-omong, aku ingat gadis itu pernah bilang kalau dia memelihara seekor kucing.

"Silakan masuk. Akan kuseduh teh dulu."

Dengan sopan kutundukkan kepala pada Nyonya Hinako — yang tampak terburu-buru — dan masuk ke pintu yang pendek itu sambil sedikit membungkuk.

Seraya lemahnya cahaya matahari menyinari seisi ruangan, aku pun duduk bersimpuh. Bisa kudengar nyaringnya suara debaran jantungku di ruangan sunyi ini. Ah, aku jadi tegang.

Setelah beberapa saat, Nyonya Hinako datang dengan membawa nampan.

Beliau menyeduh teh hijau, dan aromanya begitu harum.

"Kamu sudah membuatku syok. Tidak kusangka ada orang lain yang tahu soal aturan Kediaman Yumesaki. Apa kamu mendengarnya dari Hikari?"

"Iya, maaf."

Kuanggukkan kepalaku dengan pelan sembari menerima gelas tehnya.

"Tidak usah gugup," katanya.

Aku pun langsung merenggangkan kakiku. Sekarang sudah tenang.

Beliau tersenyum lembut padaku setelah sedikit menyeruput tehnya.

Merasa sedikit malu aku menundukkan kepalaku, dan lalu, aku mendengar dia tertawa kecil.

"Hei, bisa beri tahu siapa namamu?"

"Ah, namaku Akitsuki Sakamoto. Yah, aku sempat akrab dengan Hikari."

Beliau mengangguk senang menanggapi ucapanku. Kuharap ini hanya anggapanku saja sewaktu melihat wajah senangnya itu berubah menjadi agak murung.

"Maaf sebelumnya. Aku datang tanpa diundang dan menyebabkan kebingungan ...."

Kurasa sebaiknya aku meminta maaf dulu.

Entah kenapa bisa kutebak kalau saat itu Hikari Yumesaki menggunakan tubuhku dan menyebabkan kegaduhan. Ditambah, Nyonya Hinako sendiri sedang berduka atas kematian gadis tersebut. Semuanya menjadi rumit karena hal demikian.

"Ohoho, jangan terlalu dipikirkan. Akulah yang harusnya meminta maaf karena saat itu sempat menginjak area vitalmu. Aku sungguh menyesal. Kamu tidak apa-apa, 'kan? Itu masih bisa berfungsi, 'kan?"

"Hah? Eh, apa?"

A-apa lagi itu?

"Apa masih bengkak? Boleh kuperiksa?"

"Ti-tidak, aku baik-baik saja! Biar sedikit bengkak pun tidak apa-apa."

Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi sepertinya itu sesuatu yang mengejutkan. Apa pun itu, kesampingkan dulu soal itu sekarang.

"Jadi begitu? Rupanya kamu teman Hikari ...."

"Iya ...."

"Hmm."

{GAMBAR}

"...?"

A-ada apa lagi ini?

"Ternyata anak itu bisa juga melakukannya."

"Eh?"

"Hmm, teman? Itu berarti ...."

Gumam Nyonya Hinako lembut sembari merangkul tubuhnya sendiri. Lalu, dia pun mengarahkan jari telunjuknya—

"Bukankah itu jenis hubungan yang tidak boleh kamu lakukan?"

"Apa?!"

Aku tersedak keras. Tunggu, a-apa-apaan?!

"I-itu hanya salah paham!'

"Bohong. Dia manis, 'kan? Menggemaskan juga, 'kan?"

"Tidak, itu—!"

"Tapi anak itu punya ketertarikan yang aneh. Yakin dia tidak melakukan hal aneh padamu?"

"Tidak, tunggu, itu—"

"Ampun, deh. Anak itu membaca beberapa novel aneh. Kupikir dia sedang membaca novel tentang asmara di antara para gadis, tapi ketika membacanya, kuketahui kalau novel itu menceritakan lima orang gadis kecil yang bermain basket. Ditambah, tren novel dengan banyak lelaki tampan yang belakangan ini marak juga ada di sini. Tapi aku sudah berniat untuk mengubur hal tersebut bersama kenangan tentang Hikari~"

"Argh, tolong jangan dilanjutkan!"

Ada apa dengan orang ini?! Di-dia sungguh membaca novel itu! Dan membahasnya dengan begitu tenang!

Karena tertekan sewaktu beliau mengarahkan jari telunjuknya padaku, aku pun hanya bisa tersenyum kecut. Kurasa dia memang ibunya Hikari Yumesaki. Ketertarikannya berbeda dari orang biasanya.

"Ehem."

Aku berdeham dan kembali bersikap tenang. Tidak, bukan ini, aku kemari bukan karena ingin mendengar soal itu.

"Aku kemari untuk mengembalikan ini."

Sambil berusaha keras untuk tidak saling bertatapan, kuserahkan buka saku murid itu.

Buku saku murid tersebut memang sudah kumal, tapi itu tetap peninggalan dari gadis itu, dan itu bukan sesuatu yang seharusnya kumiliki.

Biarpun begitu, aku tidak bisa mengembalikannya hingga saat ini.

Karena aku tidak punya keberanian untuk menerima isi yang tertulis di dalam buku catatan murid itu.

"... oh. Terimakasih. Akitsuki."

Nyonya Hinako perlahan menerima buku saku murid tersebut, lalu membolak-balik halamannya dengan hati-hati — seperti sedang mengelusnya — seolah takut menyakiti dirinya sendiri.

"Sepertinya kamu sudah mengumpulkan banyak keberanian untuk membawa buku ini kemari. Benar begitu?"

"Bu-bukan itu masalahnya ...."

"Jika anak itu sampai memberitahukan tentang aturan kediaman kami ini padamu, berarti dia memang menyukaimu, Akitsuki."

Suara gamang itu masuk ke telingaku dengan perlahan.

Suara itu terdengar lembut, sendu, dan tanpa disadari bisa menyakiti orang lain. Aku yakin suara gadis itu pun seperti itu.

"Hei, Akitsuki, bagaimana pendapatmu tentang anak itu?"

"Eh? Ah, itu ...."

Aku tiba-tiba dihadapkan dengan pertanyaan yang tidak terduga. E-eng ..., bagaimana aku menjawabnya ....

"Dia gadis yang ceria, penuh semangat ..., dan aku sering mendapat berbagai masalah karena dia .... Terlepas dari itu, tidak pernah terasa membosankan setiap kali aku bersamanya, lalu ...."

Meski ada beberapa hal lagi yang ingin kusampaikan, tapi aku tidak bisa mengatakannya karena malu.

Aku juga menyadari kalau ini satu-satunya kesempatan untuk membicarakan tentang beberapa hal. Akan tetapi, hanya ini saja yang bisa kubicarakan.

"Anak itu sebenarnya cukup rapuh."

"Hah?"

"Dia hanya berusaha bersikap tegar. Dia memang cukup menyusahkan, tapi sewaktu kecil dia adalah anak yang cengeng. Dia cenderung merasa rendah diri dan malu-malu."

"...."

"Dia selalu berkata kalau ingin mengubah diri karena karena keadaannya. Itu seperti seperti sebuah mantra, entah sewaktu awal masuk SMP, atau hari esoknya setelah ada kejadian buruk menimpanya, dia berkata kalau akan menjadi pahlawan yang bisa menyelamatkan orang lain. Namun manusia tidak akan bisa begitu saja berubah. Kapan pun ada hal yang tidak berjalan sesuai keinginannya, atau dia mengalami kegagalan, dia pasti akan menangis. kapan pun dia berkata akan menjadi lebih kuat, esoknya dia pasti akan menangis. Dasar anak tidak berguna."

Nyonya Hinako membuka salah satu halaman dari buku saku tersebut, tatapan matanya tertuju pada halaman itu sembari lanjut berkata,

"Tampaknya dia sedikit berubah sewaktu masuk SMA. Oh ho ho, sejak menjadi murid SMA, dia selalu melakukan sesuatu diam-diam. Dan ketika memeriksanya sendiri, kutemukan sekumpulan LN dan 'manga' yang aneh. Kurasa dia memang gadis yang sangat ingin tahu. Dia  mengoleksi 'anime' yang banyak diisi gadis-gadis dan novel yang di dalamnya hanya ada lelaki saja, dan dia tampak begitu bahagia, seolah akhirnya menemukan sesuatu yang disukainya. Dia bermain dengan teman-temannya yang punya ketertarikan serupa, dan mulai lebih sering tersenyum. Ketika masih kecil, dia terlalu reaktif pada orang lain, itu sebabnya dia punya kepribadian yang nakal, selalu mengganggu orang lain dan seenaknya sendiri. Dia memang tetap menjadi anak yang cengeng, tapi keesokannya dia akan berubah menjadi anak yang bersemangat dengan senyumnya. Meski hanya sedikit, tapi saat itu dia menjadi lebih kuat, dan itu benar-benar membuatku lega. Selama dia tetap bersemangat, aku akan merasa bahagia. Itulah sebabnya aku selalu ingin menjaganya, diam-diam membantunya. Bahkan jika dia akhirnya menderita, dia harus terus berusaha keras, dan pantang menyerah. Aku amat sangat menyayangi anak itu ..., tapi pada hari itu—" 

Nyonya Hinako membalik halamannya.

Aku tidak tahu apa itu kebetulan atau disengaja.

Berkat sampul plastik yang melindungi buku, halaman terakhir dari buku saku murid itu tidak lecek dan terselamatkan. Itulah alasan kenapa aku tidak segera mengembalikan buku saku tersebut. Tertulis di halaman terakhirnya,

-

    Aku tidak bisa lagi hidup sendirian di dunia ini. Yang menghubungkan kehidupanku dengan dunia ini adalah tatapan dingin nan lembut itu.

-

Ini adalah pesan terakhir kepada dunia yang kehilangan dirinya.

Ya, ini adalah wasiatnya.

Dia jelas tidak mati karena kecelakaan..

Dia— bunuh diri.

Itu adalah kata-kata terakhir yang tertulis pada buku saku murid itu. Aku pun bisa melihat Hikari Yumesaki di saat-saat terakhirnya.

Gadis itu selalu berusaha menyembunyikan rahasianya.

Dan itu adalah fakta yang tidak bisa kuterima.

Meski begitu, aku tidak ingin hanya menjadi pendengar saja.

Jika mau meneruskan ini, aku tidak punya pilihan selain menerima semuanya.

"... apa Nyonya sudah tahu kalau Hikari... ternyata ...."

Nyonya Hinako sudah siap menerima fakta ini lebih dari yang kukira. Senyum di wajahnya itu tampak begitu memilukan.

"Aku sendiri tidak yakin. Mungkin aku sempat punya firasat. Kehidupan sekolah anak itu memang kurang baik."

"...."

"Aku ini memang bodoh, 'kan? Aku tahu soal itu, tapi aku justru tidak berbuat apa-apa. Aku gagal sebagai seorang ibu."

"Tapi itu ...."

Tidak. Aku terdiam sebelum sempat mengatakan sesuatu.

Aku tidak tahu apa-apa tentang Hikari Yumesaki, dan tentu saja, aku pun tidak tahu apa-apa tentang ibunya.

Di situasi seperti itu, apa yang bisa kukatakan padanya? Apa aku punya hak untuk berbicara tentang orang lain? Aku hanya orang asing, hanya orang yang datang pada daftar staf sebuah film yang ditayangkan setelah para penonton berpulangan, orang yang hanya muncul setelah tidak ada seorang pun yang menonton. Tahu apa aku?

Namun faktanya, gadis itu masih membutuhkan ibunya. Karena tidak bisa bergantung padanya, dia pun akhirnya bersemayam dalam tubuhku. Yang bisa dia lakukan hanyalah menangis.

"Maaf, tapi aku baik-baik saja. Aku sudah ikhlas menerima fakta kalau dia telah tiada."

"... begitu?"

"Dasar. Dulu sempat ada yang mengaku temannya dari SMP datang ke sini. Dia anak yang tampan, dan dia berusaha keras menyemangati diriku yang saat itu sedang berduka. Akhirnya aku pun memutuskan untuk terus menjalani hidup ini. Dan itu pasti akan kulakukan."

Dia menegaskannya pada kalimat terakhir, entah supaya aku mendengarkannya, atau untuk mengingatkan dirinya sendiri.

Sudah, cukup. Jangan mengatakan itu lagi.

Karena aku sendiri tidak setegar itu.

"...."

Di tengah keheningan, aku teringat ucapan Nyonya Hinako.

'Anak itu sebenarnya cukup rapuh.'

Ternyata selama ini aku salah.

Kupikir dia memang anak yang bodoh sebelum akhirnya muncul dalam kehidupanku, anak yang selalu melakukan hal-hal bodoh. Kupikir dia seorang gadis yang mempunyai tekad besar. Kupikir seperti itulah Hikari Yumesaki.

Tapi nyatanya tidak seperti itu.

Dia punya saat-saat di mana dia tertekan karena kematiannya.

Dia punya saat-saat di mana dia menyesali tentang yang terjadi pada Kasumi.

Dia pun punya kekhawatiran sendiri mengenai balas dendam Kazeshiro.

Dan dia berharap untuk bisa menemui ibunya, walau akhirnya dia tidak mampu melakukannya, dan justru menghabiskan malam seorang diri.

Dia memendam semua kesedihannya sendiri, tanpa bisa bersikap manja, dan hanya mampu berlagak tegar dengan canggungnya.

"...."

'Akhirnya aku mendapat tubuh berandalan yang selalu kuimpikan! Kini aku tidak takut dengan apa pun!'

Aku jadi teringat kata-katanya dulu.

Kurasa saat itu dia tidak sedang bercanda.

Dia ingin menjadi lebih kuat. Itu sebabnya dia merasa tidak begitu layak saat hidup kembali dalam tubuhku, dan ingin berusaha menjalani hidup bukan sebagai Hikari Yumesaki, melainkan sebagai Akitsuki Sakamoto, separuh dari diriku.

Gadis itu tidak pernah menceritakan apa pun mengenai dirinya sewaktu masih hidup. Mungkin dia berusaha untuk melupakan masa lalunya, dan itu yang menjadi alasan kenapa dia berdiam di kebun semangka, tanpa ada keinginan untuk menjalani hidup. Dia tidak ingin orang yang paling berharga — satu-satunya yang hidup bersamanya — ikut terlibat, namun karena takdir, dia pun bertemu Kazeshiro yang ingin menuntut balas dendam.

"Lebih baik ini kuserahkan padamu."

Sebuah kata-kata yang tulus terlontar melintasi buku saku murid yang ditaruh di atas meja.

"Dia anak yang rapuh, selalu ingin menjadi lebih kuat, dan sering menangis karena banyaknya masalah. Tapi dia anak yang baik hati dibanding siapa pun."

Ya, aku tahu itu.

"Ketika ada anak kecil menangis, dia akan ikut menangis, dan dia akan melindungi siapa pun yang lebih lemah darinya. Dia memang anak yang baik hati dibanding siapa pun, anak yang paling baik hati di dunia."

Aku tahu itu. Aku sangat tahu itu.

"Jadi kuharap kamu tidak akan melupakan kebaikan hati anak itu. Ketika kamu melihat buku ini, kuharap kamu akan mengingatnya, meski itu hanya sedikit."

"...."

Seorang gadis baik hati.

Seorang gadis yang baik hati dibanding siapapun.

Dan itu sebabnya dia menjadi terluka.

Menderita seorang diri, sendirian di tempat yang tidak kuketahui.

"... apa suatu saat aku boleh kemari lagi?"

Suaraku gemetaran, terkikis oleh air mata.

"Aku punya seorang teman yang selalu menderita dan mengalami berbagai macam kesulitan. Dia anak yang baik hati, sekaligus sangat rapuh. Meski begitu, aku tidak bisa menghiburnya. Mungkin itu karena aku terlalu lemah— jadi, sampai aku menjadi lebih kuat, sampai aku menjadi cukup kuat untuk membantunya, tolong izinkan aku kembali kemari, tempat di mana Hikari Yumesaki bisa tidur dalam kedamaian—"

Mataku menerawang jauh ke celah di mana sinar matahari menembus tebalnya awan.

Air mata mengaburkan pandanganku, dan wajah cantik itu mulai tampak samar.

"Akitsuki ...."

Sebuah suara jernih masuk ke relung hatiku.

"Silakan datang kembali. Kehadiranmu akan selalu kutunggu."

Pasti.

Tidak peduli aku akan menangis atau sedih, akan kupastikan gadis ini berada di dekat ibunya.

Karena tidak bisa melakukannya, maka akan kubiarkan ibunya sendiri yang menghapus tangisan gadis itu.

Dan aku pun merintih di dunia yang remang sekaligus menyilaukan ini.


*****


"Silakan masuk."

Aku melangkah masuk ke dalam.

Aroma 'tatami' tercium di dunia yang dipenuhi lelapnya kesunyian ini.

"Ah ...."

Di sana ada sebuah altar Buddha.

Ada beberapa bayangan karena latar pencahayaan, dan gadis itu tampak seperti sedang tertidur.

"... kami akhirnya bertemu."

Aku tersenyum di dunia yang putih ini.

Foto gadis itu diletakkan di balik dupa.

Gadis itu sangat manis, lebih manis dari yang kukira.

Hikari Yumesaki.

Gadis kesepian yang membentuk separuh diriku yang lain.

Kulihat rambut hitam lebat itu dia warisi dari ibunya. Mata bulat yang jernih itu entah kenapa memancarkan aura kepolosan, dan bibir tipis yang melengkung ke atas itu seolah menggambarkan kejahilan yang sudah dilakukannya. Bisa kulihat tekad dari hidung mancungnya yang mungil dan alisnya yang dipenuhi kekuatan. Biarpun begitu, aku tidak bisa mengatakan kalau dia sosok yang kuat.

Kurasa itu adalah foto kelulusannya. Sebuah foto yang seolah tampak seperti masih ingin mengatakan sesuatu. Dia — yang mengenakan seragam — sedang memegang gulungan wisuda dengan ekspresi bahagia, sambil berpose aneh. Kurasa memang begitu. Itu pose dari 'anime' yang sedang marak. Aku juga pernah menirunya.

Lalu, aku pun sadar.

Hikari Yumesaki telah meninggal karena dunia yang ditinggalinya ini.

Dan karena itu pula Nyonya Hinako kehilangan putrinya yang paling berharga.

Kisah antara Hikari Yumesaki dengan ibunya telah berakhir.

Dan Hikari Yumesaki tidak akan pernah memanggilnya, 'Ibu,' lagi.

Itu fakta yang sangat kejam.

"Ho ho, tampaknya dia sangat suka pose ini. Ada cukup banyak foto dia dengan pose seperti ini. Sini, ayo lihat."

Dengan hati-hati Nyonya Hinako menyerahkan sebuah album berwarna putih.

Di dalamnya berisi semua kenangan mulai dari lahir hingga dia meninggal.

"Hikari Yumesaki, ya ...?"

Menangis ketika terlahir ke dunia.

Tidur dengan mulut terbuka.

Tersenyum polos sewaktu berdiri.

Membawa tas ransel berwarna cerah.

Menangis bahagia saat melihat pengumuman hasil ujian masuk.

Memperlihatkan kedewasaannya sewaktu mengenakan seragam.

Ini adalah kehidupan Hikari yumesaki yang tidak kuketahui.

Setidaknya, aku akhirnya menyadari.

Bentuk sebenarnya dari manisnya gadis ini.

Seberapa banyak aku memikirkan Hikari Yumesaki.

Aku jatuh cinta padanya.

Aku jatuh cinta pada gadis yang tidak akan pernah kutemui ini.

Dan itulah alasan kenapa perih ini terasa.

Itulah alasan aku—

"Eh? Ini—"

Aku menunjuk ke sebuah tempat kosong yang tidak biasa di album itu.

Ada satu tempat kosong yang benar-benar tidak terisi.

"Ah, saat itu ada teman Hikari yang berkata, 'Aku ingin meminta salah satu foto di sini,' karena itu aku memberinya sebuah foto yang berisi semua orang di kelasnya. 'Aku akan membuat semuanya ingat tentang Hikari,' kira-kira seperti itulah yang dia katakan. Apa kamu tahu apa maksudnya? Ah, kamu juga boleh mengambil salah satu foto di sini. Kalau ada yang kamu suka, ambil saja."

"... bisa Nyonya ceritakan seperti apa orangnya?"

"Hmm? Tentang Kazeshiro? Sama seperti hikari, dia juga bersekolah di SMA Takiou. Kelihatannya dia anak yang baik, juga sangat tampan. Bahkan aku sempat berpikir kalau Hikari punya mata yang jeli dalam memilih lelaki."

"...."

Semuanya muncul secara bersamaan.

Balas dendam Kazeshiro

Bunuh diri Hikari Yumesaki

Perkataan yang dia tinggalkan, dan foto kelas yang dia ambil.

Dan SMA Takiou

'Aku sendiri tidak yakin. Mungkin aku sempat punya firasat. Kehidupan sekolah anak itu memang kurang baik.'

Aku langsung teringat perkataan Nyonya Hinako.

Kemudian aku teringat kulit yang tampak tidak sehat pada anak lelaki itu.

Maaf, tapi kali ini aku tidak berniat hanya menjadi pendengar saja.

Entah apa yang dia rencanakan , tapi kalau dia sampai membuat Hikari Yumesaki menderita, aku tidak akan memaafkannya.

"Kazeshiro ..., ya ...."

Waktu berhenti seraya aku berdiri di depan Hikari Yumesaki. Dan kini aku sudah membulatkan tekad.

Aku pasti, pasti akan memikirkan sebuah cara.

Pasti, itu pasti.


*****


Kita beralih pada yang terjadi setelahnya.

Perasaan Nyonya Hinako berangsur membaik seiring beliau membalik halaman album foto itu sambil dengan bangga menceritakan putrinya. Perutku pun penuh terisi kue dan kudapan sewaktu membahas kehidupan sekolah dan masa remaja gadis itu. Beberapa jam telah berlalu, dan hanya ketika ibu ini kehabisan tenaga sajalah aku akhirnya dilepaskan. Rasanya melelahkan.

Sebagai oleh-oleh, aku diberi tiga buah semangka yang dipetik dari rumah kaca. Namun ketika aku berusaha menolak,

"Kamu ini lelaki, 'kan~? Hikari saja belum puas jika hanya sebanyak ini, tahu? Yah, walaupun dia sudah tiada~"

Karena tidak mampu menanggapi itu, maka aku tidak punya pilihan selain membawanya. Satu buah saja sudah begitu berat.

"Dah. Jangan sungkan untuk datang kembali, Akitsuki! Karena itu sebuah kesempatan bagi cerita drama yang terlarang! Fufu."

"Ah, hah ...?"

Apa itu semacam kalimat yang sedang marak saat ini? Aku ingat kalau putrinya juga mengatakan hal semacam itu. Ibu yang benar-benar lucu.

Matahari kembali bersembunyi di balik awan, dan di bawahnya, Aku membungkukkan badan pada Nyonya Hinako sebelum pergi.

Salah satu kalimat di luar pembahasan yang tiba-tiba beliau katakan tadi adalah sesuatu yang kurasa tidak akan pernah kulupakan.

"Kamu memang orang yang baik hati."

Bicara apa beliau ini?


*****


Aku membuka buku catatan selagi diam tidak bergerak.

Sembari perlahan bersandar di kursi, aku membaca halaman paling pertama di buku itu.

Dia dan aku hidup dalam satu tubuh. Ada kalanya kami saling marah, ada kalanya kami saling bahagia. Marah, bahagia, marah, marah .... Kalau diingat-ingat, kami berdua lebih sering bertengkar.

Lalu aku terhenti di salah satu halaman.

-

    Kamu berhasil, Pahlawan.

-

"...."

Kusentuh tulisan tersebut dengan penuh perasaan.

"Pahlawan, ya?"

Seorang gadis yang berharap menjadi pahlawan itu telah kalah oleh dunia. Meski begitu, dia berani untuk kembali berdiri. Kali ini, hanya kali ini saja, aku pun harus bersiap.

Lalu, menjadi seorang pahlawan—

"Sudah kuputuskan."

Aku berjanji padamu, seseorang yang tidak ada lagi di dunia ini.

Aku tidak akan pernah lari. Aku tidak akan pernah merasa sedih.

Jika kamu adalah orang yang baik hati dibanding siapa pun, sebagai separuh dirimu, maka sudah kuputuskan.

"Aku pasti, aku pasti akan menghentikan lelaki itu. Lihat saja."

Dia dalam remangnya kamar kami ini.

Kujulurkan tanganku ke sang matahari yang tidak bisa terlihat.

1 komentar: